Bab 14

2.2K 324 22
                                    

Setelah diadili secara tiba-tiba oleh kedua orang tuanya malam itu, Adriani benar-benar melakukan niatnya. Menegaskan hubungan antara dia dan Pras. Mulanya Adriani berniat esok harinya langsung menodong, tapi dia ternyata tak punya cukup keberanian untuk menyatakan pertanyaan sesensitif itu. Iya, sensitif. Sangat sensitif bagi Adriani karena sejatinya, dia memang berharap Pras lebih dulu mengutarakan. Dia ingin Pras seperti Indra, tanpa diminta langsung meminta dirinya. Tetap saja, nama Indra ikut terseret.

Namun, menunggu hingga beberapa hari, Pras justru tak ada kabar. Lelaki itu juga sama sekali tidak menghubunginya, baik berkirim pesan atau menelepon. Pada hari kelima ini, Adriani tidak bisa berdiam lagi. Menanggalkan harga diri sebagai wanita yang selalu ingin dibutuhkan, nyatanya kali ini, memang Adriani yang membutuhkan kepastian dari Pras. Kilasan Pras memegang tangannya mengelebat di benak. Segera ia tepis agar tidak menimbulkan rona di wajah. Perempuan berjilbab abu-abu dengan gamis dan sepatu warna senada itu sudah siap di samping mobilnya untuk meluncur menuju tempat makan yang alamatnya dikirimkan Pras barusan. Memang Adriani yang mengajak, tapi Pras yang menentukan tempatnya. Adriani tidak masalah. Itu bukan hal yang perlu dipikirkan. Yang terpenting, dia bisa secepatnya bertemu dan menyelesaikan tanyanya.

💞💞💞

"Aku ini beruntung, Dik Adri. Selama pertemanan kita beberapa bulan terakhir, kamu mau membantuku banyak hal." Adriani tersedak kopinya ketika mendengar Pras mengatakan kata "pertemanan".

Entah kebetulan atau Pras bisa membaca gelagat. Sebelum Adriani berhasil mengutarakan niatnya bertanya tentang hubungan mereka, Pras lebih dulu menjelaskan dengan kalimat barusan. Rasanya Adriani ingin lemas, tapi tak bisa. Harus tetap tegak agar tidak dipandang lemah.

Bagaimana mungkin Pras dengan mudah mengatakan berteman? Padahal, pada pertemuan terakhir lelaki itu dengan berani menggenggam tangannya. Ingin sekali Adriani protes tentang itu. Meminta penjelasan. Namun, penjelasan untuk apa. Bahkan, dirinya pun tak protes ketika digandeng. Sama-sama menikmati. Batin Adriani berperang sendiri. Mulutnya terkatup rapat. Hanya matanya yang tetap mengawasi setiap gerak Pras. Tidak ada yang aneh, tetap normal seperti biasa. Tidak ada yang ditutupi, sepertinya.

Pikiran Adriani masih ramai. Jika protes pada Pras tentang genggaman tangan itu, bagaimana jika Pras memutar kalimat dan menyerangnya dengan dalih pemilik tangan ini juga tak keberatan. Namun, Pras, lelaki ini berlebihan jika hanya menganggapnya teman. Pegangan tangan kemarin, keluar berdua, dan masih banyak lagi yang Adriani pikir, itu tidak sekadar berteman.

"Setelah ini, kita langsung pulang atau jalan-jalan dulu?"

"Langsung pulang saja, Mas," jawab Adriani cepat. Untuk apa jalan-jalan kalau hanya keluar tanpa tujuan, Pernikahan? Adriani tidak mau terlalu jauh.

Adriani masih berusaha bersikap biasa meskipun dalam hati meronta. Ternyata dia salah selama ini. Salah karena tidak mencari kejelasan antara mereka sejak awal, mengira Pras sepemikiran, dan menikmati kesemuan. Kesalahan ini harus diakhiri malam ini.

Setelah membayar makanan, Adriani bangkit dan langsung masuk mobil. Selama perjalanan Adriani hanya diam. Tidak banyak bicara seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ketika Pras bertanya ini dan itu pun dia jawab sekadarnya. Setelah mengantar Pras di depan gang rumahnya pun Adriani tidak mengucapkan banyak kalimat lagi. Dia cukup pamit dengan kalimat seadanya. Tidak ingin banyak basa-basi.

Hampir setiap pertemuan mereka menggunakan mobil Adriani. Pras lebih sering naik taksi langsung ke lokasi atau menjemput Adriani di rumah produksi, itu pun dengan taksi. Adriani percaya ketika Pras mengatakan mobilnya di bengkel, sedang dibawa adiknya, atau alasan lainnya. Adriani merasa tidak terlalu perlu bertanya detail atau memata-matai Pras. Lagi pula, dari sikap yang ditunjukkan Pras memang tidak ada yang mencurigakan. Semua tampak normal dan ... apa adanya.

Malam ini Adriani kecewa. Namun, sebagai perempuan, dia tak punya hak untuk memaksa. Rencana yang telah dia susun agar malam selanjutnya Pras bersedia menemui orang tuanya dan menyatakan sebagai calon suami harus dienyahkan dari pikirannya.

💞💞💞

Paginya Adriani berniat berangkat ke rumah produksi agak siang. Semalam, sesampai di rumah, bapak dan ibunya sedang tidak ada. Adriani tidak tahu mereka ke mana. Namun, ketiadaan keduanya membuatnya lega. Sejak didudukkan di ruang tamu enam malam lalu, Adriani merasa malu dan tak ingin lama-lama bertemu. Kini, dia pun malu pada dirinya sendiri karena terlalu percaya diri mendaulat Pras sebagai calon suami. Lalu, sekarang, apa bedanya dirinya dengan Indra?

Adriani masih berada di atas tempat tidur ketika ponselnya menampilkan nama Sabila. Tanpa keraguan dia mengangkat dan membiarkan penelepon bicara.

"Bentar, aku langsung ke sana," potong Adriani sebelum Sabila melanjutkan kalimatnya dan menjelaskan lebih rinci.

Wajah yang sebelumnya malas beranjak itu seketika tegang. Adriani gegas ke kamar mandi. Dia bergerak sekilat mungkin agar sampai rumah produksi secepatnya.

Tiba di rumah produksi Adriani disambut wajah pucat Sabila dan ketiadaan Aulia. Sabila menjawab, Aulia tidak ada kabar sejak pagi. Saat dihubungi setelah mendapat komplain dari agen pun Aulia tidak menjawab. Eh, lebih tepatnya, nomor ponsel Aulia sudah tidak aktif.

Adriani duduk lemas di kursi kerjanya setelah membaca komplain dan nominal yang hilang. Memang masih bisa tercover, tapi menyadari ada kerugian pada usahanya, tetap menyakitkan bagi Adriani. Apalagi, ini ada indikasi pencurian dan penipuan karena menghilangnya Aulia. Selama membuka dan membesarkan rumah produksi, ini yang pertama terjadi.

Selama ini, dia memang hanya memercayakan urusan pesan dan kirim pada Sabila. Gadis ini tidak pernah macam-macam karena pendekatan yang Adriani pilih melalui hati. Bahkan, antara Sabila dan dirinya lebih mirip adik dan kakak. Dari hasil bekerja dan sedikit bantuan dari Adrianilah Sabila bisa kuliah dan menyelesaikannya.

Lalu, Aulia. Sedikit pun Adriani tak tahu siapa dan bagaimana kehidupan Aulia. Gadis yang selalu tampak takut itu direkomendasikan Pras saat Adriani mengeluh perlu menambah Admin. Adriani tidak bertanya detail pada Pras tentang latar belakang Aulia. Saat itu, dia sangat percaya pada Pras. Kepercayaan itu juga dia berikan kepada Aulia. Kriteria yang cocok membuatnya tidak perlu diam-diam mengetes kejujuran atau semacamnya.

Sekarang, dia kecolongan. Satu kiriman besar pesanan agennya raib. Padahal, dalam daftar kiriman harian sudah ada, pada laporan terkirim pun telah tercentang. Tapi, Adriani ingat satu hal.

"Cek resi minggu ini, Bil."

Tanpa bertanya lagi, Sabila mengeluatkan bendel resi minggu terakhir. Dia baca satu persatu.

"Cocokkan dengan daftar kiriman dan laporan terkirim." Adriani berjalan ke arah meja Sabila. "Orderan hari ini pending dulu, ya," lanjutnya.

Orderan bisa dirapel, tapi masalah kehilangan ini harus segera tuntas meskipun dia sejak awal memutuskan tidak membawa-bawa siapa pun dalam kasus ini. Adriani bertekad menyelesaikan kasus ini sendiri, tanpa polisi. Adriani berjalan keluar ruang admin. Kepalanya berdenyut. Dia perlu udara lebih dari udara ruang admin ini. Dia tahu, denyutan kepalanya disebabkan terlalu banyak hal yang dia putar di dalamnya. Dia perlu penyegaran.

Adriani duduk di kursi tunggu yang biasa diduduki Indra. Nama dan rupa lelaki itu muncul tiba-tiba saat dia mengempaskan diri dan menikmati denyutan kepala sekaligus segarnya udara Lawang siang ini. Sebab dia mencoba menyingkirkan Indra, dia harus nekad berdekatan dengan Pras. Lalu, karena Indra harus dia jauhkan dari rumah produksi pun, dia terpaksa menghadirkan Aulia yang sekarang menghilang dan memunculkan prasangka.

💞💞💞

24 Juli 2019

Jangan Dekat-dekat!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang