Bab 5

2.8K 366 33
                                    

"Mbak Adri, ya?" Lelaki bertubuh gempal tiba-tiba menyapa Adriani.

"Iya. Bapak?" Meskipun belum pernah melihatnya, Adriani berusaha tetap sewajarnya. Dia biasa berlaku sopan pada siapa pun termasuk pada orang baru.

"Panggil saja, Pras." Lelaki itu masih berdiri dengan sopan di depan Adriani. "Boleh saya duduk?" tanyanya.

Adriani menjawab dengan anggukan. Mau menolak, sungguh tak sopan. Biarlah untuk kali ini. Toh, di sekelilingnya banyak orang dan banyak juga yang mengenalnya. Adriani memang tidak punya teman akrab yang selalu nempel. Jadi, dia terbiasa sendiri seperti sekarang ini. Teman-teman yang duduk melingkar di mejanya sudah pamit lebih dulu karena berbagai urusan. Adriani masih bertahan karena ada catatan yang perlu dia bubuhkan pada aplikasi penyimpan jadwalnya.

"Saya minggu lalu juga ikut di Bukalawang. Mbak Adri ini hebat, ya," puji Pras sesaat setelah memosisikan diri di depan Adriani. Matanya berbinar mengamini pujiannya. Senyum menawannya cukup menggoda.

"Oh ...." Adriani tersenyum. "Itu karena saya sudah lama menggelutinya," lanjutnya. Matanya sekilas mengamati lelaki yang baru dilihatnya ini. Cukup tampan dan sepertinya menyenangkan. Adriani tidak tahu tujuan lelaki ini menemuinya.

Dimulai dengan basa-basi perkenalan. Lalu, mengalirlah obrolan antara mereka berdua. Adriani merasa cocok dengan Pras karena bisa diajak bertukar pikiran tentang bisnis dan pola penjualan.

Rupanya Pras juga menggeluti dunia yang sama dengannya. Jika Adriani memproduksi gamis dan jilbab, Pras adalah pengecernya. Lelaki ini memiliki toko pakaian muslim yang cukup besar di Kota Malang.  Setidaknya itu yang diungkapkan Pras pada Adriani. Selain itu, omset melalui online juga mengalir. Terbukti dari keaktifannya mengikuti komunitas jual beli online dan komunitas Bukalawang, sama seperti Adriani.

Setengah jam lebih mereka berbicara. Sejak usai acara sampai ramah tamah. Adriani tak pernah se-enjoy ini berbicara dengan lelaki. Biasanya dia berbicara seperlunya. Namun, tidak untuk kali ini. Adriani hingga bisa tertawa lepas dan ... terlihat apa adanya. Tidak seperti biasanya yang terkesan menjaga jarak dan menutup diri.


"Pras, jadi ikut aku?"

Tawa Adriani lenyap seketika saat mendengar suara yang tak asing di telinganya. Lelaki yang seminggu terakhir ini membuat dirinya tak tenang dan keluar dari zona nyaman. Ngapain Indra ada di acara ini? Perempuan berjilbab oranye itu menoleh ke belakang. Pandangan pemilik konveksi dan kurir itu bertemu sepersekian detik. Adriani yang memutus kontak mata itu.

"Eh. Oke. Aku gampang nanti." Jawaban Pras untuk Indra membuat Adriani mengarahkan tatapan ke lelaki di depannya lagi. Adriani hanya diam saat dua lelaki itu saling bicara dan menanggapi. Adriani merasa tidak perlu menyapa Indra. Terlihat kekanakan. Namun ..., Pras, toh, juga tidak tahu kalau mereka saling kenal. Indra pun tidak menunjukkn tanda-tanda mengenal dirinya di depan Pras. Adriani merasa aman.

"Siapa?" tanya Adriani saat Indra sudah benar-benar pergi. Adriani ingin tahu kedekatan di antara Pras dan Indra.

"Tetanggaku dulu. Sekarang aku wes pindah."

Ingin rasanya Adriani bertanya lebih jauh tentang Indra yang tiba-tiba muncul di tempat ini. Namun, untuk apa? Itu hanya akan membocorkan pada Pras kalau dia dan Indra saling mengenal. Kalau tak pandai berpura-pura, jangan-jangan Pras bisa menebak dari gelagatnya jika antara dirinya dan Indra .... Tidak. Adriani tidak mau peduli pada lelaki yang telah ditolaknya itu. Lagi pula, kembali pada niatnya tadi. Adriani harus berpura-pura tidak mengenal Indra.

💞💞💞

Lelaki berkaca mata itu mengamati perempuan berjilbab oranye yang duduk di meja kedua. Dia tidak bisa mendekat. Hanya membiarkan matanya menikmati kekhusyukan perempuan itu pada ponselnya.

Di tengah keasyikan memanjakan mata, alisnya dipaksa mengerut. Ada lelaki mendekat. Pras. Yang lebih mencengangkan, wanita yang didaulat sebagai miliknya itu menerima perkenalan mereka. Indra tahu bos konveksi dan lelaki itu tidak saling kenal karena Pras adalah temannya. Meskipun tidak terlalu dekat, tapi Indra tahu Pras baru kali ini menyapa Adriani.

Indra masih mengamati dari jarak yang tak terlalu jauh, tapi tidak akan disadari oleh keduanya karena terhalang meja konsumsi. Indra bisa melihat gerak-gerik mereka dari celah perabot katering. Hatinya serasa diremas-remas melihat mereka saling menikmati obrolan. Indra tak bisa menahan diri saat melihat tawa lepas Adriani. Bukan tak ingin melihat tawanya, tapi kenapa tawa itu bukan dia yang ciptakan?

Adriani selalu bersikap profesional padanya selama bekerja. Lalu, seminggu terakhir ini, Adriani bersikap seperti tak kenal. Namun, apa yang salah? Adriani berhak bersikap sesuka hatinya, 'kan? Lagi pula, dirinya harus sadar sesadar-sadarnya bahwa dia belum berhak atas Adriani.

Lelaki berkaca mata ini berdiri dari duduknya. Mendekati dua manusia berbeda jenis yang sejak tadi dia amati. Saat suaranya menyapa Pras, tawa yang terdengar renyah di telinganya itu sirna. Secepat itu Adriani mengubah mode menjadi waspada. Indra merasa seperti kuman yang harus dienyahkan Adriani dari hidupnya.

Beberapa saat Indra berbicara dengan Pras, Indra mencuri lirikan pada perempuan yang membelakanginya itu. Tak ada niatan untuk menyapanya. Indra ingin tahu. Perkenalan itu hanya sebatas perkenalan atau akan ada lanjutan. Meskipun Indra bisa menjamin akhir dari perkenalan mereka, Indra ingin tahu seberapa kuat Adriani membentengi diri darinya dan mencoba lari darinya.

💞💞💞

"Aku merintisnya di tahun 2004. Hanya kios kecil di tengah Pasar Singosari."

"Lalu, di ruko kota sekarang? Pasti pelanggan makin banyak juga."

"Alhamdulillah. Mampirlah kalau ke kota."

Tawaran Pras membuat Adriani merasa berbeda. Dia menyanggupi. Bahkan, saat Pras mengajak makan siang esoknya, Adriani pun menerimanya.

Ada satu harapan yang tebersit dalam hati Adriani. Dia bisa menjawab tantangan Indra. Dia harus mendapatkan calon suami agar Indra mundur teratur. Dia tidak mau dianggap menyerah begitu saja dan menyerahkan diri pada Indra.

💞💞💞

Maafkan jika tulisan ini makin banyak bab, tapi makin garing. Motivasiku surut karena makin banyak yang berputar di otak. Namun, sama seperti project sebelumnya. Aku masih menerapkan motto, "Semangat pantang kendur." Motivasi diri memang harus selalu dijaga bagaimanapun keadaan kita.

Aku nulis ini untuk menyehatkan otak. Sebab, kalau nulis pasti mau baca meskipun sedikit. Saat riset bisa baca banyak hal. Saat penyuntingan juga bakalan baca tulisan sendiri.

Penyuntingan itu proses yang panjang kalau buatku. Setiap membaca ulang naskah, itu sama dengan penyuntingan bagiku karena secara otomatis aku sambil menyibak dan merevisi kesalahan-kesalahan.

Ayolah, jangan sungkan menggeplakku yang banyak kurangnya ini. Aku nggak akan marah hanya karena krisar pedas yang kamu kirim kok. Justru, aku sangat berterima kasih karena geplakan itu pasti bagian dari rasa sayang dan pedulimu.
Iya. Kamu yang ada di depan pintu, yang sedang mengintipku.

Enjoy, ya ....

22 Juni 2019

Jangan Dekat-dekat!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang