Bab 11

2.3K 301 14
                                    

"Kamunya juga, sih. Nyari kurir di jam kerja. Ya pasti nggak ada." Nufis bersungut setelah mendengar cerita Adriani. Sebelum berkunjung ke rumah Nufis, Adriani ke kantor ekspedisi untuk mencari Indra.

"Iya. Aku bisa lupa, ya." Adriani duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. "Aku bilang apa. Lama-lama senewen ngurus kurir itu terus," gerutunya. Tangan kanannya mengepal saat mengingat wajah Indra.

"Bentar, ya. Aku naruh Nafis dulu. Denger suara kamu bisa bangun dan rewel dia," ucap Nufis sambil melenggang menuju kamar.

"Aku ke sini mau jenguk Nafis, lho." Adriani tersentak, kemudian menegakkan punggung bersiap bangun dari duduk. Sedikit tak rela karena belum menyapa anak kedua sahabatnya.

"Enggak perlu. Kita selesaikan dirimu dulu," sergah Nufis. Perempuan berambut panjang itu menuju sofa, kemudian duduk di samping Adriani. "Jadi, gimana?" Teman sebaya Adriani satu ini memang sering menjelma sebagai kakak perempuannya.

"Aku udah cerita, 'kan?" Adriani mengingatkan.

Nufis mengangguk samar. "Tapi, harusnya kamu adil, dong."

"Heh? Adil gimana?"

"Kamu harusnya nggak gegabah milih Pras. Pras ataupun Indra, mereka itu orang asing, 'kan? Harusnya jangan berat sebelah gitu," terang Nufis. Dia merasa, baik Pras maupun Indra, sama-sama belum jelas.

Adriani diam. Sepertinya ucapan Nufis agak sulit dia cerna. Apanya yang harus adil jika bertemu Indra saja dia enggan.

"Apa, sih, yang bikin kamu ...." Nufis menyelisik raut Adriani. "Em ... kayak memerangi Indra? Padahal, kamu lebih dulu kenal dia, 'kan? Udah kerja sama lama banget malah," lanjutnya.

"Fis ..., kamu tahu aku, 'kan." Adriani menekuk satu kakinya di sofa, menghadap Nufis. "Aku nggak suka laki-laki ganjen, sok ganteng, dan suka nantang," jelas Adriani sambil membayangkan sikap Indra. Iya, dia nggak suka lelaki kepedean kayak Indra. Sok-sokan es ka es de di depan banyak partner kerjanya di rumah produksi.

"Lalu, Pras gimana? Kamu bisa gitu keluar-keluar bareng dia. Aneh."

"Apa yang aneh? Aku dan Pras cuma makan. Cuma sekali dia nemenin aku belanja bahan."

"Sama aja, Jeng. Kamu, tuh, baru kali ini kayak gitu. Kok bisa?" sinis Nufis.

Adriani berpikir sejenak.

"Sejak kuliah sampai lulus, lalu sesukses ini, emang pernah si Adriani keluar berdua ajah dengan laki-laki?"

Adriani masih mendengarkan serangan-serangan Nufis. "Tapi, aku nyaman sama Pras," sanggahnya lemah. "Dia bisa mengimbangiku dan ... aku butuh lelaki seperti dia."

Nufis mengembuskan nafas panjang setelah menghela dalam. Adriani belum paham maksudnya. "Kamu tahu Pras bisa ngimbangi kamu, 'kan, karena saling mendekat. Keluar bareng beberapa kali. Makan bareng, de el el itulah. Kalau sama Indra? Belum-belum kamu anggap dia seperti benalu yang nggak boleh dekat. Itu nggak adil kalau menurutku."

"Menurutmu, aku juga harus keluar sama Indra, gitu? Nggak mungkin."

"Bukan gitu juga .... Cukup dengan cari tahu baik buruknya Indra dengan wajar. Jangan ujug-ujug kamu usir gitu aja ketika dia ngajak nikah. Iya, sih, dia kayak kepedean gitu, tanpa pe de ka te langsung pengen sah, tapi  tindakanmu sama kayak ngusir, lho, itu." Nufis seolah tak terima Indra tak dianggap. "Lagi pula, kamu keluar sama Pras juga aku nggak setuju. Itu bukan kamu banget," lanjutnya mencoba menyadarkan Adriani.

"Aku harus memastikan Pras bisa kujadikan suami, Fis. Jadi, aku nekat keluar berdua sama dia. Aku nggak mau Indra nguntit aku terus. Kan kamu tahu juga kalau dia nggak akan mundur kalau aku belum punya calon suami."

"Lha, kenapa malah terpancing omongan Indra? Kamu yakin mau maksa bersuami hanya karena ancaman Indra?" Nufis berdecak sambil menggelengkan kepala. Adriani benar-benar kehilangan jati diri. "Nikah itu, kalau bisa, seumur hidup sekali, lho. Kamu cuma pengen sekali, 'kan?"

"Ck, ya, iyalah." Adriani menepuk bahu Nufis. "Kamu kayak doain aku jelek gitu."

"Bukan doain, tapi bikin yakin kalau suami nggak bisa dipaksa-paksa semau kita seutuhnya. Apalagi, maksa nyari suami hanya karena menghindari seseorang. Nggak bisa!" tegas Nufis. "Semua harus dipikirkan dengan tenang."

Adriani menengadah. Punggung dan kepalanya disandarkan di sofa, memikirkan ucapan Nufis. Namun, tetap saja. Indra nggak boleh dekat-dekat dengan dirinya. Dia tetap nggak bisa menerima lelaki kepedean itu.

Nufis tertawa lebar melihat raut kusut Adriani. Dia berdiri menuju dapur yang berjarak 3 meter dengan tempat mereka ngobrol.

"Aku bikin puding susu dan cokelat untuk Rasya. Mau incip?" Tanpa menunggu jawaban, Nufis mengeluarkan 4 cup puding. Meletakkannya di depan Adriani dan menikmatinya. Tak ada bahasan lagi tentang Pras dan Indra. Adriani bungkam dan Nufis memilih membiarkan. Apa pun jalan yang akan dipilih Adriani, dirinya tidak berhak menyetir. Dia hanya bisa menyarankan. Jika tak diterima, ya, tidak masalah.

💞💞💞

"Walah, Mas. Kacau. Mas Indra kenapa pindah segala, sih?"

Indra sedang menunggu Adriani. Di jalan tadi dia menerima pesan dari Roni kalau Adriani mencarinya di kantor. Roni tidak mengatakan apa pun setelahnya. Jadi, sepulang mengurus ekspedisi, dia menyempatkan ke rumah produksi.

"Seminggu setelah Mas Indra pindah, aku harus lembur karena rekap bukti terkirim nggak ada. Selanjutnya, tugas ngerekap aku yang nangani juga sambil nunggu admin baru. Numpuk-numpuk penggawehanku, Mas," lanjut Sabila sambil bersungut.

Indra mendengarkan gerutuan Sabila sambil senyum-senyum. Dia tidak bisa terus terang tentang alasan kepindahannya. Jadi, lebih baik membiarkan admin konveksi ini mengeluarkan uneg-unegnya agar lega daripada dia salah bicara.

Sabila sedang duduk di depan ruang admin sambil memangku laptop. Sesekali dia akan bekerja di luar ruangan ketika suntuk. Mumpung ada Indra, dia bisa bekerja sambil bicara.

Indra duduk di kursi tunggu seberang kursi yang diduduki Sabila. Kursi mereka terhalang meja yang tersuguh camilan dan minuman ringan.

"Mbak, ada kiriman salah alamat. Aku belum bisa caranya urus."

Tatapan Indra yag sebelumnya lurus ke arah gerbang, menoleh ke kanan ketika mendengar suara asing. Perempuan yang mendekati Sabila belum pernah dia lihat sebelumnya. Apa mungkin dia admin baru yang dimaksud Sabila?

"Kamu kirim pesan dulu ke ekspedisi, tunggu respons mereka. Setelah itu, kamu dituntun mereka sampai tuntas," jelas Sabila.

Perempuan berjilbab ungu itu masuk ruang admin setelah mendapat penjelasan dari Sabila. Mata Indra masih mengikutinya sampai benar-benar menghilang di balik dinding. Wajah itu tidak asing, tapi Indra tidak bisa mengingat pernah bertemu di mana. Apa mungkin dia pernah mengenalnya?

"Itu Mbak Adri. Aku masuk dulu, ya," ucap Sabila saat melihat mobil putih yang biasa dikendarai Adriani memasuki gerbang rumah produksi. Gadis itu sepertinya paham sedang ada yang tidak beres antara bosnya dan lelaki di sampingnya.

Mulut Indra sudah terbuka untuk bertanya tentang perempuan berjilbab ungu tadi. Namun, suaranya urung keluar karena mendengar ucapan Sabila. Tatapannya terarah pada mobil Adriani.

Urusan tentang perempuan asing itu bisa ditunda. Indra lebih penasaran dengan tujuan Adriani mencarinya. Baiklah, dia sudah siap menerima apa pun yang "dibawa" Adriani.

💞💞💞

13 Juli 2019

Jangan Dekat-dekat!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang