"Huftt...." Helaan nafas kasar keluar dari mulutnya. Berjalan dengan gontai sambil menendang batu-batu krikil yang ia temui di parkiran rumah sakit.
"Bodooh! Kenapa aku memeluknya! Aishhhhh" Geramnya pada diri sendiri setelah menyadari kelakuannya beberapa jam lalu yang sangat memalukan. Wajahnya sedikit memerah ketika mengingat pelukannya bersama Irene yang rasanya sangat berbeda.
"Ayolah wendy, bukankah Irene sudah biasa memelukmu. Tapi.. Tadi itu aku yang memeluknya dan kita berpelukan. YA TUHAAAAN MEMALUKAN" Katanya dengan frustasi sambil mengacak-ngacak rambutnya.
"Tidak, tidak, tidak. Tadi aku hanya berniat menenangkannya, itu saja oke sudah cukup seungwan" Dikte wendy pada mindsetnya sendiri agar tak berfikir macam-macam lagi.
Wendy pun berusaha setengah mati agar tak mengingat-ingat lagi kejadian itu, dan bergegas berjalan menuju kamar Rose.
Dan seperti biasa bau obat-obatan menyeruak masuk kedalam hidungnya ketika wendy membuka kamar Rose. "Selamat sore!" Sapa wendy dengan wajah yang ceria. "Hmmh.." Jawab Rose dengan singkat membuat wendy mempoutkan bibir merahnya.
"Sampai kapan kau akan mendiamiku seperti ini?" Tanya wendy sambil berjalan gontai kearah Rose. "Menurutmu?" kata rose yang tak menoleh sedikitpun pada wendy. "Berhenti lah seperti ini" Pinta wendy pada rose sambil menggoyang-goyangkan lengan Rose. "Tidak.. Sebelum kau mint--" "Aku sudah meminta maaf pada Irene" kata wendy yang memotong ucapan Rose.
"Apakau jujur?" Tanya Rose yang akhirnya menoleh menatap wendy. "Buktikanlah sendiri" Titah wendy padanya. Rose hanya menatap lekat kedua mata hitam wendy, mencari sebuah kebohongan disana dengan teliti. Namun sayang, ia tak menemukannya sedikitpun. "Anak baik.." Ucap rose sambil mengacak-acak rambut wendy. "Aku bukan anak-anak!" Tolak wendy yang tak terima di sebut anak-anak oleh Rose.
"Dimataku kau itu seperti bayi kecil" "Hmmhh baik lah ibuuu, aku adalah bayi kecilmu" kata wendy dengan suara lucumya sambil memeluk kepala Rose. "Haha itu terdengar menggelikan wendy" Ucapnya sambil bergidik geli di pelukan wendy. "Akupun rasanya ingin muntah hahahaha" kata wendy yang membuat gelak tawa pecah diantara mereka berdua.
"Emm aku penasaran bagaimana cara kalian berbaikan?" Tanya Rose dalam pelukan wendy. Bukannya menjawab tapi Wendy hanya diam, karna pertanyaan rose membuatnya tiba-tiba teringat kembali tentang pelukannya dengan Irene. "Wendy!" Panggil Rose sambil mencubit perut wendy dengan pelan. "E-eh! Ada apa Roseee" tanya wendu dengan terkejut. "Jawab pertanyaankuuu"
"Hmm yaa seperti itu, aku bilang maafkan aku. Awalnya dia menangis, tapi pada akhirnya dia mau memaafkanku" Kata wendy yang tak mencertakan perihal pelukan mereka pada Rose. "Syukurlah, jangan keterlaluan padanya oke! Mulai sekarang berbaik hatilah" Titah Rose pada wendy. "Baik Nyonya Besar" kata wendy dengan patuh yang membuat rose tertawa kecil.
Namun tak berapa lama selang dari obrolan singkat kedua sahabat yang saling mencintai itu terganggu ketika tiba-tiba Rose yang mengaduh kesakitan.
"Ahhhh!" Erang Rose kesakitan sambil memegang kepalanya. "Rose!" kata wendy yang terkejut sambil melepaskan pelukannya dan menatap wajah Rose. Betapa terkejutnya wendy melihat darah segar mengalir dari hidung mancung Rose. "YA TUHAN ROSE! HIDUNG MU BERDARAH" Teriak wendy dengan wajah yang super panik. Rose hanya memegang hidungnya dengan wajah inconnect.
"Tunggu sebentar, aku panggil dokter" kata wendy dengan bergegeas. "Tidak usah" cegah rose sambil memegang tangan wendy. "Tidak usah bagaimana!" sentak wendy dengan gelisah. "Tenanglah kata dokter ini bukan apa apa, lihat darahnya pun sudah berhenti" Kata Rose sambil mengelap hidungnya dengan tissue. "Tapi--" "Stt.. aku hanya butuh istirahat saja. Temani aku tidur, dan peluk aku" Titah Rose sambil bergeser dari tempatnya memberi ruang untuk wendy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Nerd
FanfictionKau berada di dekatku, tapi aku tak mampu menjangkaumu. Apa mungkin lenganku terlalu pendek? atau mungkin kau yang terlalu tingggi untuk ku gapai? Betapa membingungkannya sikapmu. Kau hanya diam dan menerima apa yang ku beri. Tak menolak, tapi tak...