Pagi Tangis

141 25 0
                                    

Anna menjalani kehidupannya yang monoton seperti hari-hari sebelumnya. Meskipun sudah beberapa minggu menjadi anak SMA, tidak ada perubahan yang signifikan di hidupnya. Hanya sekolah, hangout, pulang, kerja kelompok dan ya, mendengar pertengkaran orangtuanya yang ntah kapan akan berhenti.

Hari ini Anna berangkat sekolah dengan ojek online. Kemarin motornya Ia taruh di bengkel dan belum sempat diambil, rencananya sepulang sekolah nanti Ia akan mengambilnya.

Di perjalanan menuju sekolah Anna asik mengobrol dengan si bapak pengemudi ojek online.

"Neng cantik deh, kaya anak bapak," kata si bapak membuat Anna tersenyum simpul.

"Anaknya seumuran saya ya pak?" tanya Anna.

"Iya neng. Seharusnya si tahun ini masuk SMA, tapi tahun lalu dia kecelakaan, sampai sekarang masih belum bisa banyak gerak, jadi apa-apa harus dibantu istri saya," jawab si bapak menjelaskan. Anna terharu sekaligus iri dengan keharmonisan keluarga bapak ini. Kapan Ia bisa merasakan kehangatan keluarga?

"Duh, maaf ya pak, semoga anaknya cepet sembuh. Pasti dia bangga punya orang tua kaya bapak," kata Anna merasa tidak enak dengan pertanyaan sebelumnya.

"Saya juga bangga Neng. Dia anak yang kuat, dia hebat bisa bertahan sampai sekarang. Malahan saya yang ngerasa gagal karena belum punya cukup biaya buat pengobatannya,"

Apalagi ini Ya Tuhan, deep banget. Batin Anna sedih. Tidak terasa air matanya menetes, dadanya sesak, Ia sangat iri pada anak bapak ini. Pagi yang seharusnya menjadi pembuka hari malah seperti ini. Anna tidak menyalahkan bapak ini, tidak. Ia juga tidak menyalahkan Tuhan atas apa yang diterimanya. Namun, Ia menangisi nasibnya, mengapa harus Ia yang menjadi korban keegoisan orang tuanya?

"Neng,"

"Neng sudah sampai,"

"Neng kenapa nangis?" tanya si bapak membuat Anna tersadar. Segera Ia menyeka air matanya.

"Ah engga, Pak. Saya terharu, jadi inget sama orang tua di rumah," jawab Anna.

"Makasih ya, Pak. Hati-hati di jalan," lanjutnya setelah turun dan melepas helm. Si bapak tersenyum ramah sebagai jawabannya.

Anna melangkahkan kakinya menuju ke kelas, melewati lapangan dan ruang serbaguna. Saat di serbaguna Anna berpapasan dengan si mata empat, Niskala. Ya, Anna memanggilnya si mata empat karena Niskala menggunakan kacamata.

Hubungan Anna dan Niskala menjadi lebih akrab setelah kejadian kunci motor Anna ketinggalan. Meskipun omongan Niskala terkadang nyelekit, tetapi mereka berdua kerap saling menyapa saat bertemu di sekolah. Seperti pagi ini,

"Mwoning, Kala," ucapan selamat pagi andalan Anna. Niskala yang hendak menjawab sapaan Anna tiba-tiba perhatiannya teralihkan saat melihat bekas air mata di sudut mata Anna.

"An?"

"Ya? Apa, Kala?" tanya Anna menatap mata Niskala.

"Are you okay?" Anna yang sadar dengan pertanyaan Niskala menyentuh daerah matanya untuk memastikan sesuatu.

"Honestly no, but that's okay," jawab Anna tersenyum berusaha menyakinkan Kala bahwa dirinya baik-baik saja. Kala menahan dirinya untuk bertanya lebih jauh, belum saatnya.

Mereka berdua berjalan bersama sampai depan kelas. Jujur, Anna merasa sedikit tidak nyaman dengan pandangan orang-orang yang melihatnya berjalan bersama Niskala. Mereka masuk kelasnya masing-masing. Anna masuk diikuti dengan Saga di belakangnya. Anna tidak sadar jika dari tadi Ia berjalan dengan Niskala di sampingnya dan Saga di belakangnya, pantas saja pandangan orang-orang terasa tidak enak.

Can We Go Back?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang