Bisa Berhenti Sebentar?

196 31 0
                                    

Sesampainya di rumah, Anna dikejutkan dengan teriakan kedua orang tuanya. Suara pecahan beling di lantai membuat Anna bergegas masuk. Pasti bertengkar lagi, batin Anna kesal.

"Mamah, Papah!" teriak Anna pada kedua orangtuanya.

"Bisa ngga sih kalo ribut tuh ngga usah banting-banting barang? Suaranya kedengeran sampai gerbang, ngga malu sama tetangga?" lanjut Anna berusaha merelai.

"Kamu anak kecil tau apa?!" kata Papah Anna acuh.

"Aku? Aku tau malu Pah! Ngga kaya mamah sama papah," jawab Anna.

Plak

Satu tamparan mendarat di pipi Anna.

"Mas!" ucap Mamah Anna lalu menghampiri anaknya.

"Jangan pernah kamu sentuh anakku sama tangan kotor kamu itu!" lanjut Mamah Anna memperingati suaminya. Anna hanya diam, Ia sudah biasa diperlakukan seperti ini. Anna segera masuk ke kamarnya, menepis tangan mamahnya.

"Lihat anakmu itu, tidak tau sopan santun!" ucap Papah Anna dengan penuh amarah.

"Jangan bicara seenaknya, pernah ngajarin apa kamu ke Anna?" jawab Mamah Anna membela.

"Cih," Papah Anna berdecih lalu meninggalkan Mamah Anna sendirian di ruang tamu. Mamah Anna mendudukkan tubuhnya di sofa, mengusap kasar wajahnya.

Sedangkan Anna di kamar hanya bisa menangis, dunianya kejam. Papahnya semakin tempramen semenjak kejadian itu. Anna merasa ini semua tidak adil. Mengapa harus mental dan kebahagiaan Anna yang dirusak?

Anna beranjak dari kasur, mengganti pakaian dan memasukkan dompet serta handphonenya ke dalam slingbag. Segera Ia keluar kamar.

Ceklek

"Mau kemana kamu An?" tanya Mamah Anna saat melihat pintu kamar anaknya terbuka. Anna tetap diam, terus melangkah keluar rumah tanpa memperdulikan panggilan mamahnya.

"An!"

"Anna!"

"Mau kemana kamu?!"

•••

Matahari yang awalnya terik seketika berubah menjadi kumpulan awan hitam. Suara gemuruh petir dan kilat mulai bersautan menghiasi langit yang semakin lama semakin gelap. Tidak lama tetesan demi tetesan air hujan turun, membasahi bumi yang tadinya kering disinari sang surya.

Niskala menghentikan motornya di halte yang Ia lewati. Niskala tidak suka hujan. Ia tidak suka melawan jutaan tetesan air hujan yang terasa menusuk di kulit. Baginya itu sangat menyakitkan, membangkitkan kembali ingatan buruk yang sudah dengan susah payah coba Ia sembuhkan.

Niskala duduk di kursi halte, mengamati kendaraan yang lalu-lalang di jalan. Padahal hujan sudah mulai deras namun masih ada beberapa pengendara bahkan pejalan kaki yang menerobos, se menyenangkan itu kah hujan? Pertanyaan itu mengingatkannya pada satu kejadian kelam.

"Kenapa?" tangan Niskala menyentuh pundak gadis di depannya, mencoba bertanya apa alasan Ia melakukan hal itu.

"Kenapa?"

"Kenapa kamu lakuin hal bodoh ini?!" tanya Niskala yang tidak mendapat jawaban apa-apa.

"JAWAB AKU HUJAN!" teriak Niskala yang sudah tidak sabar menghadapi situasi ini. Kenapa gadis di depannya bisa melakukan hal bodoh semacam itu.

"Maaf," hanya kata maaf tanpa imbuhan apapun yang keluar dari mulut Hujan. Bahkan Ia tidak mampu menjelaskan apa yang terjadi, kejadian itu seperti mimpi buruk yang terjadi begitu saja. Hujan merasa jijik dengan dirinya sendiri. Ia sangat malu pada Niskala.

"Siapa laki-laki itu?" tanya Niskala dingin.

Hujan menggelengkan kepalanya, enggan menjawab pertanyaan Niskala.

"Anjing!" maki Niskala.

"Biar aku yang tanggung jawab," kata Niskala membuat Hujan membelalakkan matanya kaget.

"Gila kamu?! Cukup masa depan aku yang rusak, kamu jangan!" jawab Hujan.

Niskala mengacak rambutnya frustasi, rasa sayangnya pada Hujan melebihi kecewanya.

Niskala tersadar dari lamunannya saat melihat gadis berhoodie biru pastel berjalan di tengah derasnya hujan. Ia memperhatikan dari kejauhan, seperti tidak asing dengan perawakan gadis ini.

"Hujan," ucap Niskala sambil membenarkan posisi kacamatanya, mencoba memperhatikan lagi untuk memastikan apakah benar gadis itu adalah Hujan?

Gadis itu semakin mendekat, Ia mempercepat langkahnya menuju ke halte tempat Niskala meneduh.

Ternyata bukan. Batin Niskala setelah melihat dengan jelas wajah gadis itu.

•••

Anna berjalan melewati rumah-rumah di area kompleknya. Melihat bangunan, jalan, langit, taman sambil menghirup oksigen dalam-dalam. Napasnya terasa berat. Pundaknya lelah. Sudah terlalu lama Ia merasakan sakit ini sendirian. Anna ingin menghentikan ini semua.

Berjalan seperti ini sudah biasa Anna lakukan saat pergi dari rumah. Ditambah cuaca hari ini yang sepertinya mendukung kesedihan Anna. Baru saja keluar dari gerbang komplek, cahaya matahari mulai meredup digantikan awan hitam. Langit seperti ikut sedih melihat Anna.

Anna tetap menikmati perjalannya. Tidak memperdulikan tetesan air hujan yang sudah mulai turun membasahi jalanan. Ia menyukai hujan. Karena di bawah derasnya hujan ini Ia bisa dengan bebas mengeluarkan air matanya, tanpa ada orang yang tau.

"Dunia ngga adil banget ya?"

"Kenapa sih harus gue?"

"Gue ngga sekuat itu," beberapa kalimat yang diucapkan Anna memiliki arti yang sangat dalam. Memang benar, Anna masih terlalu muda, Ia dipaksa dewasa dan dituntut untuk memahami. Padahal Anna hanya korban keegoisan orang tuanya.

Hujan semakin deras dan Anna masih menikmatinya, tapi Anna tersadar saat ponsel di tasnya berdering, "Anjir hp gue bisa mati!" ucap Anna yang baru ingat jika tas yang Ia gunakan sekarang berbahan kain yang mungkin bisa saja membuat ponselnya basah.

Anna berlari kecil dan memeluk tasnya untuk melindungi barang-barang di dalamnya. Kepalanya ditutup dengan tudung hoodie yang Ia kenakan. Di depan ada halte bus, Ia segera mempercepat langkahnya menuju kesana.

Akhirnya sampai. Batin Anna saat sampai di halte, segera Ia membuka hpnya. Ternyata hanya alarm yang lupa Ia matikan, bukan notifikasi penting.

"Kampret!" ucap Anna kesal.

Anna menoleh ke samping, melihat seseorang yang duduk disebelahnya. Anna kaget, laki-laki itu..

•••

27 Februari 2022
Halo, terimakasih yaa sudah mampir di sini
Jangan lupa vote-nya <3

Can We Go Back?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang