"Eh, Reza. Tumben pagi-pagi udah dateng,"
Suara itu mengagetkanku. Ketika aku mengangkat kepala, wajah lembut Tante Sella—mama Cindy—tersenyum dihadapanku. "Pagi, Tante. Iya soalnya lagi libur semesteran jadi bisa sering dateng, deh." Aku berkata sopan, di tanganku tergenggam seikat bunga lili. Kuletakkan rangkaian itu di meja samping tempat tidur Cindy dan menepuk kepala gadis itu sebentar.
"Wah, Cindy pasti seneng deh kalo Tante cerita kamu dateng setiap hari bawa bunga. Sayang, dokter sendiri pun nggak tau kapan ia bisa bangun dari koma." Tante Sella tersenyum kecil, kemudian tatapan matanya berubah—memperhatikan anak bungsunya yang terbaring koma.
"Tenang aja, Tante. Cindy pasti bakalan bangun kok, Reza yakin itu."
Aku tidak tahu, berapa lama lagi harus menunggu.
Sejauh yang kuingat, kamu sudah terbaring di ranjang rumah sakit ini dengan segala macam selang infus dan monitor detak jantung terpasang. Alat yang tak pernah berhenti bersuara, namun suara itulah satu-satunya harapan kami tentangmu.
Apa sih yang kauimpikan disana?
Kerap kali pertanyaan itu muncul di benakku. Aku yang selalu bertanya-tanya apa saja yang kaulihat dibalik tidur panjangmu. Mungkin kau bermimpi dikejar-kejar dosen dengan segala macam tetek-bengek mengerikannya. Atau kau terlempar ke masa depan dimana kau melihat dirimu sendiri sedang mengasuh anak-anakmu. Atau mimpi seperti dongeng-dongeng anak kecil yang indah dan selalu berakhir bahagia.
Aku tidak mengerti jawabannya.
Lihat, Cin. Ibumu mengupaskan jeruk untukku. Kamu pasti iri kan, karena jeruk itu buah kesukaanmu. Aku menatapmu geli, ketika melihat Tante Sella berkutat dengan sekeranjang jeruk, dan menyodorkan sepiring penuh untukku. "Jeruknya manis lho, Reza. Dimakan ya?" Senyumnya mengembang kecil. "Tante ada janji dengan dokter nanti jam sepuluh. Tante bisa 'kan titip Cindy ke kamu?"
"Bisa kok, Tante," jawabku singkat. "Omong-omong makasih buat jeruknya."
Ketika pintu terayun menutup, hanya tinggal aku dan kamu. Di ruangan serba-putih, dengan jarum jam berdetik perlahan beradu dengan mesin pendeteksi detak jantungmu. Kita sama-sama terdiam.
Mataku tidak bisa lepas dari wajahmu, wajah yang biasanya dihiasi kacamata. Ya, kamu takkan bisa kemana-mana tanpa kacamatamu—kecuali jika kamu memakai lensa kontak. Tapi kini kacamatamu tergeletak manis di tempat tidur, dekat dengan rangkaian bungaku.
Semacam harapan suatu saat nanti kau akan terbangun, kemudian mencari-cari dimana kacamatamu dan—itu dia! Kau dapat menemukannya dengan mudah di sisi tempat tidurmu.
Harapan.
Aku ingat Tante Sella berujar dengan pasrah, ketika ia membicarakanmu denganku tadi. Dokter tidak tahu kapan kau bisa bangun kembali. Yang tersisa dari lubuk kami semua hanyalah harapan itu. Jika diibaratkan mungkin harapan kami hanyalah sebuah pelita kecil di tengah kegelapan. Pelita yang sewaktu-waktu dapat padam bahkan dengan helaan napas.
Tapi selama pelita itu menyala, itu cukup untuk menerangi kegelapan. Cukup untuk menghindari kebutaan. Selama pelita itu masih ada—selama monitor itu masih berdenging menampilkan detak-detak halus.
Kugenggam jemarimu erat. Hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Kamu mungkin bakal memarahiku ketika aku dengan lancang melakukan ini. Tapi biarlah, aku tak ingin melepaskanmu secepat ini. "Cin," kataku pelan, "cepet bangun, oke? Kelas sepi banget kalo nggak ada lu."
Tidak ada respon—sesuai dugaan. "Gue sih yang kesepian," lanjutku jujur. "Nggak ada yang isengin gue." Dan akupun tertawa garing.
Masih tidak ada jawaban. Kemudian tawaku pun mereda. Kita kembali terlarut dalam keheningan. Dan mesin pemindai detak jantungmu kembali beradu dengan detik jam dinding. Genggamanku tidak melemah, meskipun kamu tidak menggenggamku balik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stars in a Jar
Short Story[Sebuah Arsip] Apakah kamu tahu, kalau bintang punya ceritanya masing-masing?