Kau mau menyerah? "Memangnya kenapa?"
Kalian 'kan saling menyayangi. "Itu 'kan katamu."
Dasar bodoh, kau selalu bertindak gegabah, Daniel. "Diam kau!" Aku menghela napas frustasi, kemudian menariknya kembali dalam-dalam. Aku mengacak rambut yang sengaja kubiarkan panjang sampai-sampai poniku turun menutupi mata, membuat helaian-helaian legam itu berantakan kesana kemari. Aku nggak menyangka. Suara itu muncul lagi.
Kalau kau tanya aku, aku sendiripun bingung. Rasanya sains untuk seorang remaja delapan belas tahun yang baru menempuh pendidikan di semester lima sebuah universitas swasta sangat kurang jika dibandingkan dengan apa yang terjadi. Daniel yang satu lagi—yang kau lihat berbicara denganku itu—adalah tipe 'sosok' yang berkebalikan seratus delapan puluh derajat dari kepribadianku. Akupun bingung menjelaskannya sampai sekarang. Rasanya kami adalah dua jiwa dalam satu tubuh. Dia bukanlah pikiran alam sadarku, dia juga bukan murni berasal dari otakku. Kami telah berbagi otak sejauh yang dapat kuingat, mungkin sejak aku kecil.
Kau bisa beritahu aku alasannya? "Tidak." Sebenarnya tanpa kuberitahupun, dia tentu tahu. Karena kami satu otak—aku telah mengatakannya sebelum itu. Ah, kenapa kau tidak pernah berbicara denganku lagi, seperti dulu? Padahal aku akan jauh lebih senang jika kau yang mengatakannya sendiri daripada harus berusaha mengertimu. Ayolah, Daniel. Kita 'kan saudara kembar.
"Persetan dengan itu. Aku tak pernah mau bersaudara kembar denganmu, kau hanya pengganggu dalam hidupku. Wujud saja kau tak punya." Kau kasar sekali, Saudaraku. Tanpa aku nilai kalkulusmu tidak akan menyentuh C! Lagipula sejak dulu Mama juga menganggapku anak bukan?
"Jangan sebut Ibuku dengan Mama. Mama tidak pernah menganggapmu! Dia selalu berpikir aku punya teman khayalan. Kaulah teman khayalan itu, makanya dia pura-pura menganggapmu." Oh ya? Kalau begitu kenapa kau meminta Mama untuk menjahitkan sepasang sweater kembar untuk kita? Mama selalu menyiapkan tempat spesial di meja makan untukku, meskipun aku makan melaluimu. "Seingatku, aku tidak sebodoh itu. Berpikirlah, Daniel Yang Satu Lagi," kataku sarkastis, "ia hanya mau menyenangkan aku yang masih bocah."
Katamu kau tak mau bersaudara denganku, namaku Matthew. "Oh baguslah kau masih sadar. Tapi aku tidak akan pernah memanggilmu Matthew." Kenapa? Itu 'kan nama darimu. Karena kau bilang, dua saudara kembar bernama Daniel adalah ide yang buruk. "Sudah kubilang, itu 'kan dulu. Aku masih bocah ingusan, paling-paling umurku baru enam tahun."
Huh, beruntung aku tak bisa menyabotase tubuhmu. "Ya, aku memang beruntung. Apa jadinya hidupku kalau kau mengambil alih tubuhku?" Daniel Yang Satu Lagi—atau Matthew—terdiam. Aku juga diam. Hidupku tak pernah lepas dari 'pertengkaran' ini. Rasanya mungkin akan jauh lebih menyenangkan jika ia memiliki wujud. Mungkin jika ia cerewet, aku bisa mengusirnya dari kamarku dan membanting pintu. Lalu aku tidak akan peduli jika dia berteriak marah di depan pintu kamarku—aku akan menyalakan musik keras-keras. Nyatanya tidak mungkin, kami tak bisa dipisahkan. Tak akan bisa.
Kau sayang dia? "Tidak pernah."
Bohong! "Kau tak pernah mempercayaiku." Bagaimana mungkin? "Apanya?" Ketika ia menyatakan perasaannya padamu setahun lalu, kau menerimanya! "Lantas?" Aku tidak percaya kau berkata tak pernah menyayanginya. Aku diam, membiarkannya mengoceh sebanyak yang ia mau, berdengung di kepalaku terus-terusan. Selalu seperti ini—selalu. Kepalaku menerawang ke kejadian setahun yang lalu.
***
Dia cantik ya? "Siapa?"
Mataku melayang, kemudian otomatis menangkap sesosok gadis, berambut cokelat lurus sebahu. Dengan kulit putih dan mata yang selalu sayu, senyum yang selalu merekah membuatnya nampak seperti malaikat. Seingatku dia juniorku di semester satu. "Itu yang kau maksud?" Ya, siapa dia namanya. Tunggu, Penny? Ah bukan, Regina? Eh.. "Estelle." Ah iya! Estelle, nama yang sulit sekali kuingat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stars in a Jar
Short Story[Sebuah Arsip] Apakah kamu tahu, kalau bintang punya ceritanya masing-masing?