2016: Levitate

7 3 0
                                    

Berdiri, karena kau tidak boleh berada di lembah kelam itu lagi.

Bangkit, jangan sampai kau kembali terpaku pada rasa sakit.

Maju, karena kau tidak seburuk apa yang menjadi bayanganmu.

Naik, jangan kaubiarkan semuanya itu menghalangimu untuk jadi yang terbaik.

***

Pemuda itu melangkah gontai, kepalanya menunduk memandangi aspal kelabu yang seolah mencerminkan perasaan hatinya saat ini. Tatapannya kosong seiring pergerakan kakinya menyeberangi jembatan layang di atas jalan tol lebar yang menghubungkan gedung kampusnya dengan kos tempatnya bernaung.

Hal yang ia lakukan setiap harinya, jalanan yang sama, tempat yang sama, kakek tua penjual tisu yang sama, bahkan lubang pada aspal yang sama.

Bedanya pada hari itu, dia sendirian.

Mengangkat kepala, membenarkan letak kacamatanya yang merosot pada hidungnya yang lancip, menatap deretan anak tangga curam yang akan membawanya turun keluar dari jembatan layang. Ia menarik napas dalam, kepalanya berputar-putar memikirkan banyak hal. Namun yang pemuda itu lakukan masih sama, berjalan dengan langkah gontai. Mungkin jika ada orang melihatnya berjalan seperti itu pada tangga securam yang ia lewati sekarang, mereka akan berpikir ia akan jatuh.

Dan benar saja.

Di lima undakan terakhir kakinya menginjak tali sepatunya sendiri, membuat ia jatuh terguling menghantam besi pembatas jembatan. Pedagang asongan dan tukang gorengan yang memang mangkal disana terpekik, membantunya berdiri dan merapikan bawaannya yang tercecer.

"Hati-hati dong, Mas. Jangan bikin kaget siang-siang." Pedagang gorengan itu berujar khawatir, masih dalam perasaan kaget dan bertanya-tanya.

Namun, alih-alih mengucapkan maaf, pemuda itu menarik sudut bibirnya yang ditumbuhi kumis tipis pendek. "Makasih," katanya pelan, meski ia harus mengakui kepalanya pening dan tubuhnya terasa nyeri.

Ia kembali menyusuri jalan lebar setapak, berbelok lihai melewati gang-gang sempit dimana anak-anak dengan sepeda roda tiga yang memakai kaus kutang dan bedak muka yang berantakan suka bermain. Jalan yang sudah ia hafal setiap harinya, semenjak ia pindah kos.

Bedanya pada hari itu, ia sendirian.

"Kenapa sih gue!" Satu seruan keras keluar dari tenggorokannya. Membuat dua orang bapak yang tengah bermain catur di depan rumah menatapnya berbicara sendiri. Pemuda itu mengacak rambut cokelat tuanya hingga berantakan. "Kenapa yang gue lakuin gak pernah ada yang bener?"

Karena lo itu bodoh.

Otaknya menjawab pertanyaan yang ia lontarkan sendiri. Beberapa langkah lagi ia akan tiba di pagar cokelat dengan peil naik dua puluh senti. Rumah kosnya. Ia memindai sidik jarinya pada pemindai di samping pintu, dan lampu menyala hijau-menandakan pintu sudah terbuka. Kemudian ia segera naik menuju kamarnya.

Meletakkan tas berlogo kampus dan tabung berisikan kertas tugasnya sembarang di lantai, ia melompat ke atas kasur berseprei hijau, tidak ingat kapan ia menggantinya terakhir kali. Bantal, guling dan selimutnya masih pada posisi semula saat tadi pagi ia tinggalkan. Matanya menatap nanar langit-langit kamar.

Seharusnya mereka semua masih ada disini, pikirnya.

Seharusnya sekarang gue lagi sibuk mikirin mau makan apa abis pulang kuliah.

"Udah cukup galaunya, woi."

Pemuda itu terlalu sibuk dalam pikirannya sendiri hingga ia tak sadar gadis penghuni sebelah kamarnya sekaligus teman sekelasnya sudah berdiri di depan pintu kamar yang tidak pernah dikunci sambil menatapnya. Pemuda itu menahan napas, menatap gadis itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Mau sampai kapan lo mikirin mereka?"

"Gue gak tau," jawabnya putus asa. "Semua salah gue."

"Kalo lo terus nyalahin diri lo sendiri, worthless, Za. Worthless banget." Gadis bersurai legam itu mengangkat sebelah alisnya. Pemuda yang diajak bicara hanya terdiam. Berusaha menghalau pikiran akan masa lalu yang mengusik sanubarinya. "Gak ada gunanya, gak ada yang bisa kembali."

Gadis itu benar. "Gue juga ngerasain hal yang sama, kok. Bukan cuman lu." Suaranya bergetar. "Tapi lo harus bangkit, Za."

"Gue cuman punya lu sekarang, dan gue gak mau kehilangan lu juga."

Sedetik kemudian pemuda itu mulai merasakan otaknya kembali berputar.

- - -

Pernah dipublikasikan di fictionpress, 

discontinued

Stars in a JarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang