"Tidak."
"Coba sekali lagi."
"Sama saja," sebuah suara laki-laki menghela napas berat, "mau dicoba berapa kali pun tetap sama saja."
"Benarkah?" Suara laki-laki yang lain lagi menyahut. Ia juga menghela napas, nampak frustasi. Di hadapannya terbaring seorang laki-laki yang usianya mungkin terpaut lima sampai enam tahun lebih muda. Memakai pakaian rumah sakit lengkap dengan selang infus dan kepala yang diperban.
"Kau tidak mengingatku?" tanya laki-laki itu lagi, menatap lurus pada sosok yang terbaring di ruangan serba putih ini.
"Kau?" Laki-laki itu mengangguk mantap. Yang menjadi lawan bicaranya menatap lurus ke langit-langit kamar, berusaha menerawang. Tapi semakin ia berusaha mengingat kepalanya semakin terasa nyeri. "Aku tidak ingat."
"Namamu Allen." Laki-laki yang berdiri, berperawakan tinggi dan berkacamata itu berkata dengan nada rendah—agak miris memang. "Dan aku kakakmu." Ia melanjutkan.
"Kakak...?"
"Aku Damien," lanjutnya, "kau mengalami kecelakaan seminggu lalu dan terbaring koma selama beberapa hari, dan kau mengalami amnesia—setidaknya begitulah yang dokter katakan padaku."
Pemuda yang terbaring di atas tempat tidur menatap iris biru gelap milik Damien. Kepalanya berusaha mengingat-ingat sesuatu, barangkali ada sedikit memori yang masih melekat di kepalanya mengenai kakak yang tidak dikenalinya ini. Tapi percuma sama. Dia hanya diam, membiarkan kakaknya melanjutkan pembicaraan.
"Pasti berat buatmu." Damien berkata lagi. "Aku juga tak bisa memaksamu mengingat."
"Maafkan aku," sahut pemuda itu lirih. "Aku betul-betul tidak ingat."
Damien mengacak rambut pemuda itu pelan. "Tidak apa-apa, semua ingatanmu akan kembali pada waktunya." Ia tersenyum, menampakkan sederetan gigi putih dan membetulkan letak kacamatanya.
Pemuda itu menatap Damien lekat-lekat. "Istirahatlah," kata Damien lagi.
Mereka larut dalam keheningan, detik jarum jam menggema memenuhi ruangan kamar tempat pemuda ini dirawat. Pemuda ini memperhatikan Damien—kakaknya. Matanya bergerak-gerak mengikuti setiap pergerakan Damien sementara ingatannya terus berlarian jauh. Tapi nihil—ia tak mampu mengingat apa-apa.
"Sebetulnya aku kemari membawa berita baik," kata Damien, "kau sudah boleh pulang, Allen." Suara Damien melambat, ia menatap pemuda itu lurus-lurus. "Aku akan mengurus suratnya."
"Aku? Pulang?"
"Ya, kau. Dokter bilang kondisimu sudah pulih benar. Aku akan meminta suster mencabut infusmu setelah ini. Ibu dan Ayah sudah menunggumu di rumah." Damien tersenyum lembut. "Kau pasti merindukan rumah."
Rumah. Pemuda itu menarik napas panjang. Ia sudah berada di rumah sakit ini semenjak ia bangun—ia bahkan tak tahu berapa lama ia telah tertidur. Damien rutin mengunjunginya setiap hari, sesekali para dokter dan suster. Ia tidak pernah dikunjungi oleh sosok yang dapat ia sebut 'Ayah' ataupun 'Ibu'. Karena itu ia sangat bersemangat ketika kakaknya berkata Ayah dan Ibunya menunggu di rumah.
"Kau keberatan kalau aku mengurus administrasinya sebentar?"
"Tidak."
"Bagus. Tunggu sebentar ya, Allen." Kemudian Damien pun berlalu.
Pemuda ini menatap punggung Damien ketika ia keluar dari kamar tempatnya dirawat. Kepalanya masih berputar-putar tentang kejadian yang menimpanya. Ia masih berusaha mengingat—namun apa, ia hanya mampu mengingat sebuah truk kuning besar menghantamnya dan semuanya gelap.
Ketika matanya terbuka ia suda berada disini, dan sosok Damien yang pertama kali dilihatnya. Damien selalu berusaha untuk membuatnya mengingat, namun tidak berhasil. Pemuda ini menarik seulas senyum tipis, mengingat betapa baiknya sang kakak yang selalu mengunjunginya, bahkan merawatnya sampai malam menjelang.
Kupikir Damien adalah kakak yang baik. Batin pemuda itu. Betapa bodohnya aku tidak mengingatnya.
"Maaf membuatmu menunggu."
Tak lama Damien kembali bersama beberapa orang suster. Cairan infus miliknya sudah hampir habis, maka suster membiarkannya beberapa saat sebelum mencabutnya keluar. Para suster itu begitu cekatan sehingga tak lama, ia sudah mengenakan pakaian yang telah dibawa Damien, bersiap untuk pulang.
Jalannya agak tertatih karena terlalu lama berbaring sampai-sampai Damien harus membantunya berjalan. Mereka berdua meninggalkan kamar rumah sakitnya, meninggalkan tempat tidur yang menjadi penopang hidupnya selama ini. Di tempat tidur itu tergantung sebuah papan nama.
Leam, Erian.
***
"Kau tahu pasien kamar nomer 407?"
"Erian? Satu-satunya yang selamat dari tabrakan bus itu? Yang seluruh keluarganya meninggal? Kudengar keluarga terdekatnya baru bisa menjemputnya pekan depan bukan?"
"Ya, dia benar-benar kasihan."
- - -
Pernah dipublikasikan di fictionpress

KAMU SEDANG MEMBACA
Stars in a Jar
Storie brevi[Sebuah Arsip] Apakah kamu tahu, kalau bintang punya ceritanya masing-masing?