Seorang pemuda melangkah ke dalam ballroom tempat pesta prom tahun ini diadakan dengan santai. Jas hitamnya yang dipadu dalaman kemeja berwarna putih bersih dan dasi hitam terlihat berkilauan karena lampu sorot di ruangan besar ini disorotkan kepadanya. Pemuda itu yang terakhir datang, dan ballroom ini sudah penuh dengan murid-murid tahun ketiga yang tengah mengadakan pesta kelulusan sekaligus perpisahan di masa SMA.
Pemuda itu tersenyum simpul, seolah tidak peduli dengan sorotan lampu yang setia meneranginya dan tatapan mata siswa-siswi disekitarnya. Tatapan-tatapan mata yang mengikuti setiap langkahnya mendekati seseorang yang duduk suram di sudut ballroom ini, aku.
Aku yang melihatnya datang balas tersenyum kepadanya. Tidak peduli betapa lusuh dan kusutnya wajahku dan rok pendek dari gaun pinjaman milik temanku yang kukenakan bergerak seirama langkahku bangkit dari kursi. Pemuda berjas yang tampan ini berlutut dan mengadahkan tangannya kepadaku. Permuda ini pacarku, orang yang semula kukira tidak akan pernah mendekatiku karena aku hanyalah seorang anak paling bermasalah di sekolah sementara ia sendiri adalah pangeran.
Aku menyambut uluran tangannya, berusaha tidak tersandung dengan sepatu berhak tinggi lima senti yang membuat tubuhku sekarang setinggi lehernya—biasanya aku hanya mencapai pundaknya. Kami berjalan menuju tengah ruangan yang berubah menjadi lantai dansa dimana beberapa pasangan di sekolah sedang berdansa ditengah alunan musik klasik seperti di zaman kerajaan Inggris. "Kau cantik, Clerence." bisik Jonathan di telingaku. Aku merona kecil.
Desas-desus yang kudengar di sekelilingku ketika kami berjalan dan tatapan jengkel siswi-siswi berusaha tak kami hiraukan. Seisi sekolah sudah tahu kami pacaran semenjak setahun yang lalu dan yang kuherankan, kata-kata miring terhadap kami berdua—terhadapku lebih tepatnya—seolah tak pernah habisnya.
"Jonathan... astaga. Cowok itu sudah gila ya?"
"Ssst, Rene. Kau bisa dikeluarkan kalau dia dengar!"
"Menjijikkan dasar Anak Bermasalah!"
"Iya, kenapa sih cowok sekeren Jo bisa naksir apalagi pacaran dengannya?!"
Yeah, Jonathan Raven—pacarku yang adalah putra kepala sekolah di sekolah tempatku berada. Dia tampan, pintar dalam pelajaran dan kemampuan bermusik yang luar biasa plus dia adalah putra kepala sekolah. Siapa yang tidak tergila-gila dan menghormatinya? Akupun tergila-gila. Hanya saja, seisi sekolah juga tahu dibalik nama dan status sekolah yang bergengsi ada seorang siswi bermasalah yang hampir dikeluarkan dengan tidak hormat karena prestasi dan kelakuan buruk yang bakal menurunkan imej sekolah elit ini.
Dan kalau saja teman sekelasku yang baru kuketahui sebagai anak kepala sekolah satu setengah tahun yang lalu tidak menolongku, tentu sekarang aku sudah lebih kacau di jalanan.
Aku dan Jonathan masih saja bergandengan dan ia tersenyum lembut kepadaku sebelum mengajakku berdansa juga. Jantungku berdegup kencang, ini pertama kalinya aku berdansa. Aku tidak bisa berdansa tapi Jo bersedia membantuku. Maka aku melingkarkan tangan kiriku di lehernya dan ia memegang pinggangku dan kami mulai berdansa mengikuti alunan musik.
Begitu teduh dan menyenangkan. Pemuda berkulit putih bersih ini tersenyum sambil menatap mataku. Tatapan hangat yang tak pernah kurasakan sebelumnya dari orang-orang di sekitarku. Aku juga menyunggingkan seulas senyum terbaikku dan kami berdua sama-sama tersenyum.
Aku ingat setahun yang lalu hidupku masih berantakan. Bertengkar dengan murid bahkan murid laki-laki, mabuk, mencuri soal ujian, dan yang lainnya. Masa lalu kelamku yang kupikir tidak akan ada orang yang mau mengangkatku dari keterpurukan. Orangtuaku bahkan sudah pasrah dan lebih memperhatikan Peter adikku yang notabene anak baik-baik.
Tapi Jonathan mau bersusah payah mengulurkan tangannya bahkan masuk ke lubang hitam ini dan mengangkatku keluar. Berkata bahwa ia menyukaiku dan mau membantuku menyelesaikan reputasi buruk serta membantuku dalam pelajaran yang tak kumengerti. Dia begitu baik dan ramah membuatku mudah sekali jatuh hati kepadanya. Dia adalah cinta pertamaku yang manis—bisa dibilang.
Cinta kami berdua ini gila. Yah, kau juga pasti berpikir tidak ada yang mau menjadikanku kekasihnya karena semua merasa sudah kenal denganku yang buruk. Tapi Jonathan dengan tulus mau memacariku dan hubungan kami berlangsung selama setahun dengan baik-baik saja. Dia adalah bagian terbesar dalam hidupku. Hidupku yang tadinya malang menjadi hidup yang lebih bermakna bersamanya.
Cinta kami berdua ini seperti sebuah tragedi. Karena tak seharusnya Itik Buruk Rupa memikat hati Sang Pangeran. Cinta yang telah mengundang banyak hinaan dan cemoohan dari orang-orang karena status. Mr. Raven—sang Kepala Sekolah tahu betul segalanya tentangku. Aku tidak peduli—dia juga. Karena kami saling mencintai. Tragedi buruk ini akan menjadi tragedi manis yang tak terduga karenanya.
Kami masih saling bertatapan, berdansa dan sesekali tersenyum tanpa kata. Mata Jonathan lembut dan teduh, mata yang memencarkan cahaya di jalanku yang buntu. Kejelasan, kejernihan dan ketulusan yang ditujukannya membuat wajahku merona setiap kali menatapnya.
Dibalik orang-orang yang mencemoohku, aku masih mendengar suara teman-temanku. Mereka orang-orang yang mau mendekatiku tapi kutolak mentah-mentah karena kupikir aku tak butuh teman. Tapi nyatanya aku membutuhkan mereka juga dalam urusan dandan—mereka yang menawarkan diri dan mencegahku memakai jins ke pesta prom.
"Clerence cantik ya dengan gaun itu?"
"Tentu saja. Memang cocok juga kalau rambutnya ditata seperti itu."
"Dia dan Jonathan sungguh serasi,"
"Kuharap ia mau merubah dirinya jadi lebih baik."
"Jonathan akan membantunya..."
Tak lama setelah itu, musik klasik mulai berhenti—begitu juga dengan dansa kami. Speaker besar di atas panggung mulai mengalunkan sebuah lagu. Dan aku bahkan tidak tahu prom bisa berubah dari lagu klasik yang lembut menjadi lagu ala masa kini dengan sebuah meja DJ di tengah panggung yang tiba-tiba muncul. Aku tahu betul lagu ini dan mataku dengan mata Jonathan bertemu.
"Ini lagu favoritku!" kataku padanya.
"Favoritku juga," sahutnya dan kami tertawa kecil menikmati lagu yang mengalun sebagai latar kami.
"Hei Jo. Sampai sekarang aku tidak tahu kenapa kau mau mengorbankan dirimu sampai sejauh ini untukku." ujarku pada pemuda ini. Jonathan menarik kedua sudut bibirnya dan hanya menatapku lembut, tidak menjawab. Tapi kurasa aku juga sudah tahu jawabannya. "Tapi terima kasih,"
Kecupan di bibirnya lembut di tengah para murid mengakhiri cerita kami.
- - -
Pernah dipublikasikan di fictionpress
KAMU SEDANG MEMBACA
Stars in a Jar
Short Story[Sebuah Arsip] Apakah kamu tahu, kalau bintang punya ceritanya masing-masing?