Seharusnya, tugas akhir praktek Nira dapat berjalan mudah dan lancar. Bagaimana aura gadis itu maksimal terpancar di atas panggung selama setengah jam, menuai decak kagum bapak, ibu, dan Asti, menepukkan tangan Ferdi dan Mirza yang menonton di bawah tepi panggung, bahkan guru ballet Nira semasa SD pun ikut hadir dan memberikan apresiasi tak kalah menarik.
Namun, sejauh pandangan gadis itu menyapu keseluruhan ruangan dalam Teater Kecil, tidak terjangkau adanya Jesse yang terlanjur berjanji akan datang pukul setengah delapan malam.
Jam tangan Alexandre Christie di pergelangan tangan Nira sendiri sudah menunjukkan lima menit sebelum pentas tugas akhir ini berakhir. Kecewa merasuki kalbu, membunuh angan Nira untuk memperjelas betapa tidak penting acara ini bagi seorang dokter gigi muda itu. Baiklah, katakan ada tindakan ortodonthi jam enam sore, tapi cobalah mengerti. Jarak antara rumah sakit dan Taman Ismail Marzuki hanya memakan waktu setengah jam bila lalu lintas terbilang bebas hambatan.
Hentak kaki kanan disertai sepasang tangan dan kepala menengadah bertepatan dengan berhentinya alunan latar musik, meriuhkan suasana pertanda bahwa Nira berhasil melewati dengan baik. Tugas akhir praktek terlaksana tanpa beban, penuh konsentrasi, diselangi senyum dan acungan jempol dari sang dosen pembimbing, Kak Mino, juga Ferdi dan Mirza.
Sembari mengusahakan diri tersenyum, melambaikan tangan pada penonton, di mana bapak, ibu, dan Asti terlihat sama bangga, Nira menahan air mata sekuat ia bisa. Jangan sampai tetesan sedih ini diartikan orang lain sebagai makna rindu akan sesosok cinta, melainkan haru karena pementasannya malam ini berakhir sukses. Nira pun melangkah mantap ke sisi panggung, menghilang di balik tirai, bergabung dengan Ferdi dan Mirza yang memeluknya hangat.
"Sukses, Kak! Tinggal satu langkah lagi di sidang besok, Ferdi yakin Kak Nira bisa lulus!" dukung si adik angkatan.
Mirza terlalu mengenal siapa Nira, tangis gadis itu bukanlah bentuk ekspresi senang berlebih. Lelaki itu kemudian ikut berjongkok di samping Nira tanpa menghiraukan aksi Ferdi berseru terpana akan penampilan teman perempuan Mirza dan Nira yang melenggak lenggok tradisional kontemporer diiringi lagu Elang milik Dewa 19 versi soft jazz.
"Nir, jujur. Jesse dateng bareng keluargamu, kan? Dia ada di bangku penonton bareng orang tua dan Kak Asti, kan?"
Tidak dijawab, Mirza menggoyangkan bahu kanan Nira. "Jangan bilang dia ada tindakan lagi? Kamu paham betul jadwal dia, Nir. Aku pun tahu kalau setiap Sabtu dan Minggu itu hari liburnya, apalagi dia pasti nyempetin diri buat hadir di acara kamu. Coba hubungi dia, Nir, pake HP aku aja nih."
Sebuah ponsel bersampul lunak hitam disodorkan Mirza kepada Nira. Perlahan, Nira mengangkat kepala, mencoba menepis rasa sakit akibat goresan kecewa di lubuk hati. Nira hafal betul nomor kontak Jesse, sehingga secepat kilat ia berusaha menekan deretan angka itu, lalu menempelkan ponsel Mirza ke telinga.
Baru dua kali nada panggil terdengar, suara Jesse menyapa lembut. Menyentak perasaan Nira.
"Halo, Za. Ada apa? Gue lagi agak sibuk nih, bokap sama nyokap ngajak dinner sebelum besok berangkat ke Helsinki. Nanti gue kirim SMS aja, ya. Soal Nira, gue minta maaf banget nggak bisa dateng ke acara pentas tugas akhir dia. Tolong sampein ucapan selamat dari gue buat dia ya, Za."
"Mirza? Kok lo nggak ada suaranya sih? Ya udah, gue tutup dulu teleponnya. Malam."
"Apa katanya? Kok kamu diem aja?" Mirza mengerutkan kening bingung ketika Nira menyerahkan kembali ponsel pinjaman kepada sang pemilik setelah transmisi diputus sepihak.
Orang tua Jesse besok akan pergi ke Helsinki. Ada acara makan malam keluarga sehingga tugas akhir Nira dikesampingkan.
Cukuplah dua pernyataan mengejutkan itu Nira dengar langsung dari Jesse. Gelombang badai menyapu merata memenuhi isi kepala Nira. Tanpa banyak bicara, gadis itu berlari menjauhi area belakang panggung, melupakan bagaimana Ferdi dan Mirza memanggil namanya, melewati lorong sepi dan kosong sampai ia tiba di luar gedung teater.
KAMU SEDANG MEMBACA
LARASATI [TELAH TERBIT] ✔️
Fiksi PenggemarCakrabirawa dan Kanira dipertemukan ketika berada di tepi jurang sembilu, demi merajut harapan baru meski harus bertabur sesal dan rindu. "Kakak gue jadian sama pacar gue." - Kanira "Ngundang Maliq & D'essentials orkes di resepsi itu nggak murah."...