ALIA POV
"Hhhh.....!"
Aku menghela nafas. Lagi. Entah untuk ke berapa kalinya. Ruangan yang biasa kugunakan untuk menghabiskan hampir seluruh waktu istirahatku itu sekarang terasa menyesakkan.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku terbaring dengan posisi seperti ini. Memandangi jemariku yang sudah tidak polos lagi karena di sana sudah tersemat benda kecil berwarna kuning.
Orang-orang, maksudku saudara-saudaraku, masih terdengar riuh di luar sana. Suara tawa mereka beberapa kali terdengar hingga ke dalam kamarku. Mereka bahagia. Tentu saja mereka bahagia. Terlebih Ayah dan Mamak. Aku ingat sejak beberapa Minggu lalu senyuman tidak pernah lepas dari wajah mereka. Walaupun mereka lelah mempersiapkan segalanya, tapi itu tidak menutupi raut kebahagiaan dari wajah mereka. Dan binar bahagia itu semakin kentara saat benda kuning ini melingkari jari manisku.
Aku dapat merasakan tatapan penuh harap mereka padaku.
Aku jengah.
Walaupun harapan mereka adalah melihatku tersenyum bahagia. Aku menahan diri untuk tidak menangis dan membuat malu seluruh keluargaku di depan 'tamu penting' mereka. Dan begitu 'tamu penting' itu beranjak pulang beberapa saat lalu, aku segera menenggelamkan diri di ruangan yang semakin terasa sesak ini bersama kekalutan dan keraguan yang semakin merajai isi pikiranku.
Apa aku akan sanggup dengan keputusan ini?
Gimana kalau aku enggak bisa mempertanggungjawabkan?
Ini salahku!
Kamu bodoh, Alia!
Harusnya kamu enggak mengambil keputusan saat kamu sedang dikuasai emosi.
Kamu bodoh!
Drrrrrrt-drrrrrrrt! Drrrrrrtt-drrrrrrrtt! Getaran panjang dari benda pipih berwarna hitam di sampingku pertanda ada telepon masuk membuyarkan lamunanku.
Bang Adam!
Aku menyentuh tombol merah untuk menolak panggilan tersebut. Aku sedang tidak mood untuk berdebat. Terutama dengan dia!
Drrt-Drrtt! Drrt-drrt! Sekarang whatsapp-ku yang berbunyi pertanda pesan masuk.
"Gimana?" Tanyanya singkat tanpa basa basi, seperti biasa.
"apanya yang gimana?" Balasku.
"Tadi aman kan? Tadi orang tua gue udah ngabarin gue. Katanya dua bulan lagi kita nikah."
"Lah, itu orang tua abang udah ngabarin, ngapain tanya Alia lagi?" Tanyaku malas.
"Yaelah. Sensi amat lo sama tunangan sendiri!"
Aku menatap kosong layar Hp di hadapanku sampai layar tersebut menghitam kembali. Ku lempar asal benda itu tanpa membalas pesan dari bang Adam.
Mati kamu, Alia!
Sekarang kamu udah jadi tunangan orang.
Bodoh!
Alia bodoh!!
Aku merutuki kegegabahanku. Harusnya aku dapat menahan emosi ketika Soni tiba-tiba menghilang tanpa kabar berita. Harusnya aku dapat berpikir jernih bahwa lari dari masalah ke masalah baru yang lebih besar seperti ini bukanlah hal baik. Harusnya aku tidak gegabah. Dan masih banyak harusnya yang terus bermunculan dengan tidak seharusnya.
Pelajaran penting hari ini: penyesalan selalu datang di akhir, kalau di awal namanya pendaftaran.
Alia bodoh!!
***
jangan lupa vote dan komen ya ceman-cemankuhhh....
karya pertamaku.
setelah sekian lama vakum nulis.
dan kembali membuka wattpad sebagai pembaca.
tiba-tiba ingin menulis lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alia
Romance"Aku tidak tahu bagaimana perasaanku padamu. Tapi satu yang pasti, kesempatan yang kuberikan padanya dulu telah disia-siakannya." -Alia- "Maafkan aku. Aku yang bodoh. Aku tidak mencoba meyakinkanmu tentang perasaanku." -Adam-