CHAPTER IV

31 3 1
                                    

Alia POV

Seminggu berlalu. 

Aku menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang ku anggap bermanfaat. Seperti mulai mencoba menulis. Sering escape ke tempat-tempat yang biasanya terasa aneh jika aku kunjungi jika sendirian, seperti pantai, cafee, dan taman kota. Jadwal mengajar juga sudah aku tambah. Tidak hanya sampai sore saja. Walaupun sempat mendapat tatapan tajam dari Ayah dan Abang karena harus pulang jam 10 malam, tapi aku tetap bersikeras. 

Aku butuh kesibukan untuk mengalihkan perhatian.

Hanya saja setiap pulang ke rumah, di saat keadaan rumah sudah tenang, dan aku sudah mendekam di kamar, sendirian, aku masih suka merasakan nyeri di ulu dadaku. Aku tidak tahu sudah sedalam apa aku terjatuh, tapi ini kali pertamaku memimpikan masa depan dengan seseorang. Dan orang itu sekarang sedang mengabaikanku. Seolah memaksaku untuk berhenti bermimpi.

Dan malam ini, masih seperti malam sebelumnya. Keadaan rumah sudah tenang. Orang rumah sepertinya sudah tidur semua. Maklum sudah tengah malam. Aku membaca ulang obrolan-obrolan kami selama beberapa bulan belakangan yang masih tersimpan. Pesanku yang terakhir masih belum bercentang biru. Tapi setidaknya aku cukup bersyukur, Soni baik-baik saja. Dapat kulihat dari beberapa postingan sosial medianya. 

Iya, selain penggalau yang ulung, aku juga stalker yang hebat.

Aku tersenyumn mengingat kemampuanku tersebut. Dan tiba-tiba rasa nyeri memenuhi rongga dadaku diikuti dengan rasa panas dimataku.

Ooohh, Not Again...!!!!

Aku membenamkan wajahku ke bantal. Bisa gawat jika orang rumah tahu aku menangis. Cukup topik jomblo saja yang jadi bahan mereka membullyku, jangan ditambah lagi.

Aku tidak ingat berapa lama dengan posisi meringkuk dan wajah masih terbenam di bantal ketika sebuah nada dering HP-ku berbunyi dengan keras. Aku mengangkat wajahku dan menatap layar Hp dengan malas. 

Nomor baru.

Ahhh, ganggu orang galau aja deh.

Pura-pura udah tidur aja deh.

Kuletakkan Hp di bawah bantal yang sudah basah dengan air mata yang aku yakin sudah bercampur dengan ingus dan air liurku itu untuk meredam suara deringnya. Hanya getaran-getaran panjang yang masih terasa tanda panggilan masih berlangsung.

Tidak berapa lama kemudian, getaran-getaran panjang itu berhenti yang kemudian diikuti oleh getaran pendek tanda pesan masuk.

"Gue mau ngomong!" Bunyi pesan dari nomor yang sama. Tanpa basa basi.

"Siapa nih?" Balasku singkat. Agak kesal sih.

"Gue Adam. Nih pasti lo ga nyimpan nomor gue kan." Tuduhnya tidak berperikesopanan.

Adam?

Siapa?

"Lah, Saya enggak kenal, ngapain disimpan." Balasku sengit.

"Catat baik-baik. Gue Adam. Orang yang dijodohkan sama lo. Dan sekarang gue butuh ngomong penting sama lo. Bisa?

Jeng! Jeng! Jeng! Jeng! 

Aku melongo sendiri. Sepertinya aku telah melewatkan sesuatu!

"Anak Om Anto dan Tante Lastri?" Tanyaku was-was.

"Iya. Emang siapa lagi orang tua yang masih aja ngejodohin anaknya kaya di jaman purba gini?"

"Emang di jaman purba udah ngerti akad?"

AliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang