18 - Sisi gelap (1)

79 9 0
                                    

Aroma titik nol kilometer masih sama, hanya ada sedikit tambahan aroma karbonmonoksida yang menyengat masuk ke hidung. Teh tongtji di genggamanku masih berembun, segar. Senja mulai menampakkan ke-oranye-annya di ufuk barat. Lampu-lampu taman mulai menyala, lampu merah-hijau silih berganti diiringi kendaraan yang hilir mudik, suara tapal kuda yang khas menambah indahnya suasana senja di pusat kota jogja.

"Kalung e mas, aseli gigi harimau papua." seorang pedagang suvenir menghampiriku dengan pakaiannya yang compang camping, kulihat telinganya berlubang dan lubang itu menganga lebar, seharusnya ada sesuatu yang menggantung disana, tapi dimana? dijualnya kah?

"Ndak mas, matursuwun." Jawabku sama medoknya, berusaha menahan tawa ketika yang diucap adalah harimau papua yang sudah tidak terlihat sejak 80 tahun lalu, harimau papua atau harimau tasmania adalah hewan yang sudah lama punah, dan pertama terlihat di dunia adalah sekitar 4 juta tahun lalu di dataran australia. Sudah terlihat seperti anak NGC belom?

Beberapa hari terakhir kisah-kisah yang aku tuangkan di seri ini sepertinya terlalu menunjukkan sisi bahagia dari diriku. Jangan kira hidupku ini persis seperti yang kutuliskan sebelum-sebelumnya. Tidak jika kau sudah tahu bagaimana kisahku sebelum ini. Siap-siap sebelum membaca, menurutku, setelah ini cerita yang aku tuliskan akan sedikit lebih deep  dari sebelumnya. Enjoy.


Aku Abyasa, itu sudah jadi nama lengkapku, hanya itu. Aku terlahir pada tanggal 8 Februari, 15 tahun silam, lahir di kota pelajar, jogjakarta menjadi kesenangan tersendiri. aku lahir dengan metode vacum atau entah apa namanya, yang jelas aku keluar karena disedot. Kepalaku menjadi korban yang nampak ketika aku berhasil lahir ke dunia. Kepalaku berbentuk seperti alien, ultraman, atau terserah orang-orang memanggil kondisi kepalaku waktu itu.

3 bulan berikutnya aku habiskan di semarang, dirawat bersama nenekku, dibantu juga oleh Bude-ku disana. Kepalaku kian lama pun berhasil sembuh, nampak normal seperti kepala-kepala pada umumnya, akhirnya aku dipulangkan ke kota kelahiranku.

Semasa taman kanak-kanak, aku adalah anak yang riang seperti anak-anak pada umumnya. Setiap sore bermain sepeda di depan rumah sambil disuapi ibu sampai adzan maghrib berkumandang. Di taman kanak-kanak juga aku mulai mempelajari banyak hal. Salah satunya adalah ternyata jatuh itu sakit, dan kamu butuh menangis untuk meluapkan rasa sakitmu, indahnya berebutan mainan, hingga saling membual dengan teman-temanmu tentang apa yang pernah kau lihat, walaupun itu hanya imajinasimu saja.

Beranjak SD aku didaftarkan di sekolah dekat rumahku, dengan ibu tentunya. Disana aku hanya menghabiskan sekitar dua atau tiga hari. Sebabnya sepele, aku waktu itu dinakali dan tidak mau berangkat sekolah lagi. Akhirnya, aku dipindahkan dari SD A ke SD B, murid di SD B hanya sedikit, sangat sedikit malah. Hanya 5 orang siswa, tidak ada masalah sebenarnya, dan semua juga berjalan asyik-asyik saja.

hingga pada suatu hari, aku baru bangun tidur siang kala itu. Kudengar ada suara dua orang yang beradu argumen di ruang tamu, tidak banyak yang kuingat, aku masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Akhirnya kuputuskan untuk bangkit menuju ruang tv, aku menonton tv sambil mendengarkan adu argumen mereka, aku tidak paham apa yang sebenarnya terjadi.

esoknya, hal itu masih berlanjut. kali ini sungguh mengguncang perasaan diri mungilku hingga akhirnya menangis, langit diterpa hujan deras, jalanan di depan rumah dipenuhi genangan air, gemuruh menunjukkan gagahnya. Ibuku, masih dengan mata yang sembap duduk menyentuh pipiku, dengan koper dihadapannya tertelungkup. Aku menangis sangat keras, aku sudah paham jika ada seseorang yang membawa koper di hadapannya, dia akan pergi jauh. ibuku hanya berbisik pelan padaku, "Kamu disini aja, by. Mami gak kemana-mana kok" dengan senyumnya yang dipaksakan, tidak terasa air mata mulai mengalir lagi di pipinya. Aku mungil menangis tambah keras.

Ibu tidak jadi pergi, namun melihatnya terus-terusan membuat diri mungilku tidak tahan. Aku enggan bertanya, aku enggan menyapa, yang aku lakukan hanya menatapnya terus-terusan. diri mungilku masih terlalu belia untuk mengetahui ini semua.

Ibuku akhirnya keluar dari rumah, bersamaku. mendiami rumah tantenya yang masih ada di kota jogja. setiap hari, aku dijemput ayahku untuk berangkat sekolah, raut wajah ayahku sarat akan kesedihan. Begitu pula raut wajah ibuku yang setiap kali kulihat matanya selalu sembab entah mengapa. Setiap hari minggu, aku bersama ayahku meluangkan waktu bersama. Kami bermain apa saja yang bisa membuat kami senang.

Dua tahun aku terbiasa melakukan itu semua tanpa halangan. Sampai suatu hari, ibuku pulang ke rumah dengan raut wajah syok berat. Aku yang sudah beranjak ke kelas satu SD paham apa yang terjadi, aku berusaha membaca kertas yang dipegang ibuku pelan-pelan.

KANKER PAYUDARA STADIUM 3.


Aku tidak paham apa artinya itu. ibuku terkulai lemas di kasur, aku membacanya berulang-ulang bingung apa yang sebenarnya terjadi.

Secuil Cerita Untuk Hari IniWhere stories live. Discover now