CHP - XIII

5 0 0
                                    

Kebenaran

"ayahmu belum mati, atau setidaknya itu dugaanku. Arwahnya, atau apalah, membawa kierza, namun tidak membunuhnya. Kau mungkin tidak menyadarinya, tetapi ketika itu kau melawannya. Entah bagaimana iblis itu- Khyvanthia memberitahuku, Namanya Ranrok- telah berhasil membangkitkan jiwa ayahmu dari alam arwah."

"ayah. Beraninya mereka menganggu jiwa ayahku yang sudah tenang! Lalu, ia membawa Kizako?"

"iya, kurasa ia dijadikan tawanan oleh ranrok."

"lalu, bagaimana dengan ibuku?"

Myrianthia memalingkan mukanya. "setelah mengantarmu kesini, aku kembali ke resor dan meneliti puing dibantu dengan pasukan bulan."

Myrianthia mengenggam liontin yang terletak di samping kepala Akita. "2 hari pencarian. hasilnya nihil. Kami tidak menemukan apapun. Bahkan jasadnya sekalipun. Maafkan aku."

Akita menatap ke langit langit. Ia menutupi wajahnya dengan lengan kirinya. Ia tak ingin terlihat lemah di depan Myrianthia, namun ia sudah mencapai batas. Ayahnya, ibunya, Kizako, kehidupan lamanya. Semua hal yang berharga telah direnggut darinya. Ia telah menahan tangisnya selama ini, namun ia benar benar sudah muak. Ia tak tahan lagi.

Kendati begitu, ia tetap berusaha agar tak menangis di depan Myrianthia. Ia tak ingin terlihat lemah. Ia ingin balas dendam. Namun apa yang dapat ia lakukan? Hanya sebuah kekuatan dewi salju yang entah dimana pemiliknya sekarang. Ia benci semuanya. Ia benci hidupnya, ia benci takdir, ia benci keluarganya karena meninggalkannya sendirian.

Ia merasakan usapan perlahan di kepalanya. "kalau kau ingin menangis, menangislah."

"aku bukan orang lemah." Ujarnya sambil menahan tangis.

"benar, kau bukan orang lemah. Namun orang yang terkuat sekalipun bisa menangis. Ingatlah, Hanya orang yang hatinya telah mati yang tak pernah menangis."

Akita tak dapat menahannya lagi. Ucapan dan suara selembut sutera Myrianthia meluluhkannya, dan kemudian, tangisnya meledak. Rasanya sungguh melegakan. Mengeluarkan semua kesedihan ini yang telah dipendamnya. Tangis mengharukan yang sudah lama tak didengarnya. Ketika ia menangis, salju turun dari langit.

Myrianthia tak tega melihatnya seperti itu. Akita mengeluarkan semua kesedihannya dalam kesendirian. Akita membutuhkan seseorang. Myrianthia memeluknya. Ia memperlakukan Akita seperti anaknya sendiri. Sedangkan Akita terus menangis dalam pelukan Myrianthia.

"sudah, jangan ditahan. Teruskan saja, keluarkan hingga tak ada lagi yang tersisa. Aku tak ingin melihat dirimu terus-terusan seperti ini." Ucap Myrianthia sambil mengelus elus kepala Akita dalam dekapannya.

Sampai akhirnya Akita berhenti menangis. "sudah?"

Akita mengelap air matanya. "iya, sudah cukup. Aku merasa baikan"

"hehe, begitu dong! Tersenyumlah. Kau tak pernah benar-benar kehilangan semuanya."

"kau benar. Kita masih dapat membereskan kekacauan ini."

"Hebat! Tapi, pertama-tama, ada baiknya kau berganti baju dulu. Lihat, gaun tidur adikku basah sekali."

Akita terperanjat. "Adikmu!? Khyvanthia?"

"benar, ketika ia kecil, ini adalah gaun tidur kesukaannya. Sebelum kami berdua menjadi penguasa. Kulihat ia sering menyelinap ke dalam selimutku dengan gaun ini."

"kurasa bagian itu tak perlu dibahas, Myrianthia."

"walah, walah, tak kusangka kau mendengarkan pembicaraan kami. Dasar penguping kecil! Hahaha."

Hope within the MoonlightWhere stories live. Discover now