CHP - XV (end)

9 0 0
                                    

Oranye

Akita mendorong Myrianthia sampai jatuh ke laut dari tebing, sedangkan ia sendiri menahan Ranrok sambil membuat kubah pelindung agar efek ledakan tidak menghancurkan seisi pulau.

Ketika partikel menghantam tubuh Ranrok yang tertikam pedang Akita, tercipta sebuah ledakan yang jauh lebih terang dari apapun di bumi. Bahkan cahayanya mencapai perwujudan fana Myrianthia yang masih terkejut di dasar laut.

Pelindung yang Akita ciptakan menahan efeknya, namun seketika pecah dan energi ledakan menyebar ke segala arah bahkan menuju pasukan. Pangeran es menarik Kizako dan melindunginya.

Dan setelah itu sunyi.

Akita tahu ia tak mungkin selamat dari ledakan itu, dengan keabadian dewi sekalipun. Ia tahu bahwa ia ikut serta dengan Ranrok menuju alam kekacauan. Namun ada yang berasa tidak beres. Ia membuka mata, namun yang ia lihat bukanlah dunia penuh kekacauan, namun ia melayang layang di sebuah alam terang yang asing.

"Bangunlah, putriku." Sebuah suara membuatnya fokus. Suara yang telah menemaninya selama hidupnya, suara yang paling pertama ia dengar, suara ibunya.

"Ibu?" Sebentuk arwah mewujud di hadapannya. Arwah ibunya.

"Akhirnya kita bertemu lagi nak. Aku merindukanmu. Ucap ibunya sambil tersenyum.

"I... ibu... aku... aku... maafkan aku-" Kata katanya terpotong oleh pelukan ibunya. Terasa hangat dan damai seperti yang biasa ibunya lakukan.

"Jangan ucapkan apapun lagi. biarkan aku memelukmu nak."

"Aku senang dapat bertemu denganmu kembali, ibu"

Ibunya mengulurkan tangan. "Berjalan jalanlah dengan ibu sedikit."

Akita meraih tangan ibunya, dan mereka melayang layang di alam kehampaan yang indah.

Kemudian alam itu berubah menjadi rumah lama mereka. Akita sedang duduk di meja makan sedangkan ibunya mengambil Scotch merk mahal keluaran abad 39.

"Minumlah denganku, sambil kita menunggu."

Akita tertawa. "Ayolah bu, aku masih 17 tahun, minum Scotch akan membutuhkan waktu setahun lagi."

"Yah, dengan fakta kau memegang kekuatan dewi, tak ada batasan umur. Lagipula, orang mati tidak dapat mabuk." Ujar ibunya sambil menyerahkan gelas.

Akita mencicipinya. Manis dan terasa seperti anggur.

Mati, ya? Lamun Akita.

"Bicara soal mati, sebenarnya tempat apa ini?"

"Satu satunya tempat dimana kita bisa bicara sambil menunggu dia." Jawab ibunya.

"Dia?"

"Ya, sepertinya ia terlambat seperti biasa."

Myrianthia memangku pedang dewi salju Spethia Chavani, disebelah jasad Akita. Luar biasa jasadnya masih utuh walau sudah menahan ledakan besar. Myrianthia tahu bahwa Akita mengorbankan jiwanya demi membunuh Ranrok dan mengirimnya ke kekacauan.

Sebagai seorang dewi ia selalu dapat mengendalikan emosinya. Ia tak pernah menangis, namun kali ini, emosinya lepas kendali dan air matanya jatuh untuk pertama kalinya. Sebagai seorang dewi ia merasa gagal.

Karena tak dapat melindungi seseorang yang disayanginya.

Pangeran es bersama sisa pasukan berlari menghampiri, hanya untuk mendapati seorang dewi bulan yang menangis di samping tubuh anaknya sekaligus ibunya. Kizako berlutut di samping Myrianthia dan mengusap usap punggungnya.

Hope within the MoonlightWhere stories live. Discover now