(Normal pov)
"Kak, antarkan aku ke rumah Mikasa dong."
(y/n) yang sedang mengerjakan tugas itu menoleh ke arah Eren. Ia menyerit tak suka. "Hah? Tidak mau," tolaknya.
Eren cemberut. "Ayolah kak, antarkan aku ya? ya? ya?"
"Tidak mau," jawab (y/n) masih menolak. Ia kemudian kembali fokus ke tugasnya.
"Cih, ayolah. Memangnya kau tidak ingin mengunjungi Kak Levi? Hmm, kudengar ia sedang demam loh. Kau tidak ingin menjenguknya?"
Hah?
(y/n) kembali menoleh ke arah Eren. Kali ini dengan ekspresi terkejut. Si cebol itu bisa sakit?
"Nah, kau khawatir kan? Kalau begitu ayo kita pergi!"
(y/n) mendengus. Lalu melanjutkan kegiatannya tadi---mengerjakan tugas. "Tidak tuh? Sana pergi saja sendiri. Aku malas."
Eren menggeram, memandang kakaknya itu kesal. Ia kemudian berdiri dan menarik tangan (y/n) sehingga snag pemilik tangan berdiri.
"HEI APA YANG KAMU LAKUKAN?!" sungut (y/n).Eren melihat laptop (y/n), lalu menekan tombol save dan menutup laptop. "Ayo antarkan aku pergi!"
(y/n) menggerutu kesal, "Dasar adik durhaka."
Eren hanya mengendikkan kedua bahunya tak peduli. Kemudian ia berjalan ke garasi tempat mobil milik kakaknya terparkir.
(y/n) mengambil sebuah jaket dan kunci mobilnya. Lalu berjalan mengikuti Eren.
~first love~
(Reader pov)
"Ahh~ Kalian (y/n) dan Eren kan? Silahkan masuk."
Seorang wanita paruh baya yang sangat kukenal itu menyambut kedatanganku dan Eren dengan suka cita. Ia Nyonya Ackerman---ibu dari Levi dan Mikasa.
"Terima kasih," ucapku sembari tersenyum tipis.
Nyonya Ackerman membalas senyumanku, "Kau ingin mengunjungi Levi kan? Silahkan ke kamarnya saja. Ah, tolong antarkan ia ke kamar Levi." Nyonya Ackerman menunjuk salah satu pelayan.
Pelayan tersebut mengangguk, "Silahkan ikuti saya, Nona." Ia pun berjalan.
Aku mengikutinya di belakang.
Setelah cukup lama berjalan, aku sampai di depan kamar Levi. Sungguh, kamar Levi sangat jauh dari pintu masuk. Ckck, apa ia tidak kelelahan berjalan sejauh ini setiap hari?
"Silahkan masuk saja, Nona."
"Hm, terima kasih."
Aku membuka pintu kamar Levi dengan perlahan. Lalu masuk ke dalamnya. Setelah benar-benar masuk, aku menutup pintunya.
Wah, kalian tahu? Kamar Levi benar-benar sangat besar. Bahkan ini mungkin dua kali lebih besar dari kamarku. Dan juga, kamarnya sangat---bersih. Yah, tidak heran karena ia merupakan maniak kebersihan.
"Sedang apa kau?"
Aku terlonjak kaget. Segera aku menoleh mencari sumber suara. Tentu saja aku mengenali suara ini. Ini suara Levi.
Dan ternyata memang benar. Levi sedang duduk di sebuah sofa panjang sembari meminum kopi.
Hah? Apanya yang lagi sakit?
"Hee? Kukira kau sedang sakit? Jadi aku ke sini mengunjungimu."
Levi mengangkat sebelah alisnya, "Siapa yang bilang, heh?"
Ah, kurasa aku ditipu oleh Eren. Sialan kau, dasar adik durhaka.
"Hah, lupakan. Kau sehat-sehat saja. Jadi aku akan pulang."
Baru saja aku ingin berjalan keluar, sebuah tangan menahan lenganku.
"Hanya seperti itu? Tidak seru sekali."
Aku menoleh dan memandang Levi datar. "Lalu? Kau ingin yang seperti apa?"
"Seperti ini."
Levi memelukku dari belakang. Ia menempelkan dagunya di atas pucuk kepalaku.
Tu-tunggu!!! Apa yang sedang ia lakukan?!!
"Le-levi?"
"Hmm?"
"Apa yang sedang kau lakukan?"
"Memelukmu, tentu saja."
Deg deg deg
U-uh. Jantungku, kumohon bertahanlah. Arrggh!! Si cebol ini tidak peka atau gimana sih?! Tidak tahu apa ya jantungku sedang olahraga begini?!
"Kau gugup?" Ia bertanya.
"Memangnya kau tidak?"
"Hmm, mungkin iya mungkin tidak?"
Aku mencibir, "Dasar aneh."
Levi tertawa kecil.
Hah? HAAHHHHHHH?!!! LEVI TERTAWA?!!!
Apa.... dunia.... ini.... akan.... hancur....?
Sungguh, apa yang ia lakukan? Tertawa? Meskipun hanay tertawa kecil. Tetapi bagi seorang Levi, ITU SANGAT LANGKA!!!
"Kau kenapa?"
PAKAI NANYA!!!
"Kau barusan tertawa ya?"
Levi mengangkat sebelah alisnya heran, "Hm, kalau iya kenapa?"
"Apa kau kerasu--aww!! Hei kenapa kau menyentil dahiku?!"
Levi mendengus, "Kau ingin bilang aku kerasukan kan? Dasar bodoh."
Aku memajukan bibirku--cemberut. Lalu menatapnya dengan kesal. "Bisa tidak jangan mengataiku bodoh? Aku ini pintar tahu!"
"Yayaya terserah. Hm, sekarang ayo kita pergi."
Levi menarik tanganku dan berjalan keluar dari kamarnya.
"Ke mana?"
"Tidak perlu tahu."
Cih, dasar menyebalkan.
"Aku tidak menyebalkan."
Argh! Dia bisa membaca pikiran kan?! Iya kan?!!
"Tidak bisa bodoh. Mana ada manusia bisa membaca pikiran."
"Tapi semua ucapanmu berhubungan dengan pikiranku!!" sungutku.
"Dilihat dari ekspresi wajahmu saja aku sudah tahu apa yang sedang kau pikirkan."
Cih, terserah kau saja, Tuan Ackerman.
TBC
double up, maaf kalau pendek