Chapter 22

5.3K 329 53
                                    

Chapter selanjutnya, untung bisa dapet feels-nya. Sorry kalau chapter ini agak aneh atau gimana... yah aku akui memang kemampuan nulisku turun... tapi yah, nikmati aja kalau masih berkenan untuk baca.

————————————

Hidup itu penuh perjuangan, bukan hidup namanya bila tidak ada perjuangan. Perjuangan tanpa henti dengan masalah yang tanpa akhir adalah sebuah kehidupan, jika menyerah dengan itu semua namanya kematian.

Namun, merasa lelah dan jenuh itu manusiawi. Meski tidak bisa selamanya terus terpuruk berlarut-larut hingga akhirnya depresi.

Itu yang dirasakan Air. Saat dulu ia memilih untuk menutup diri dan tak pernah untuk bangun lagi semenjak kematian Tok Aba, hidupnya seakan berhenti dan ia menjadi penonton semata untuk kehidupan saudara-saudaranya yang lain. Ia berhenti untuk merasakan dan tak lagi berpikir, ia hanya berada di sana, hidup segan mati pun tak mau, seperti itulah kondsinya.

Sampai akhirnya Yaya muncul di dalam kehidupan mereka. Ia tahu, ia sangat egois, ia memilih jalan mudah, keluar saat mereka tak lagi sendiri. Ia hanya melihat bagaimana semua saudara-saudaranya terpuruk dalam lingkaran setan dan menderita selama bertahun-tahun, ketika Yaya muncul ia baru mau keluar lagi.

Kadang ia ingin tahu apa yang mereka semua pikirkan tentang dirinya, bencikah mereka pada dirinya? Hubungan mereka sangatlah kompleks, hidup bersama tanpa bisa berkomunikasi dua arah. Rasanya seperti tinggal sekamar dengan empat orang asing tanpa pernah bertemu sekalipun. Namun, pada saat yang sama mereka juga paling dekat satu sama lain karena bisa melihat dan merasakan langsung apa yang tubuh itu alami.

Benci ataupun cinta bukanlah sebuah pilihan, mereka akan terus bersama entah bagaimana pun perasaan mereka terhadap satu sama lain.

Namun, ketika kemarin ia merasakan bagaimana terpuruknya hidup mereka setelah menerima penolakan dari mertua mereka serta kemunculan Alif, Air bisa merasakan apa itu yang dinamakan 'depresi' secara langsung.

Mungkin itu bisa dinamakan neraka duniawi.

Setiap hari ia sering berpikir untuk mati tapi tidak pernah benar-benar melakukan apapun untuk mengakhiri kehidupannya. Entah apa ia bisa disebut pemberani atau pengecut.

Yang jelas ia bersyukur mereka semua memiliki Yaya, kalau tidak ...

Air merapikan helai rambut Yaya yang menutupi matanya. Melihat istrinya tertidur nyenyak di sampingnya membawakan kebahagiaan tersendiri. Aneh rasanya, begitu mudah merasa bahagia karena Yaya ketika hanya dengan bernapas saja kadang membuatnya merasa begitu ingin mati.

Meski ia juga tak mengerti kenapa Yaya bisa menerima keadaan mereka yang seperti ini ... ia tak ingin merisaukan hal itu sekarang, karena ia tak yakin ia akan pernah bisa mendapatkan jawabannya.

Ketika bola mata istrinya yang tertutup mulai berkedut, Air memperhatikan Yaya perlahan terbangun dengan seksama. Bagaimana Yaya sedikit menggerutu, kemudian kembali meringkuk, menggeser badannya agar lebih dekat dengannya, tapi setelah beberapa lama akhirnya ia membuka matanya kembali.

Ia kemudian menatap mata Air.

"Kamu sudah bangun dari tadi?" tanyanya dengan nada mengantuk.

Dari matanya yang belum mau membuka seluruhnya, Air tahu Yaya belum sepenuhnya sadar. Mungkin ia ingin kembali tertidur, tapi tak bisa karena hari sudah pagi dan ia harus bangun.

"Sudah," jawab Air singkat.

Yaya akhirnya mengangkat badannya ke posisi duduk, ia mengucek matanya kemudian merapikan posisi rambutnya yang berantakan selama tidur. Kerah baju piyamanya yang besar sedikit turun memperlihatkan leher yang putih yang membuat badan Air seperti melilit.

Love The Way You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang