Chapter 6

1.1K 110 32
                                    

Jarum jam bertengger di angka sembilan. Namun, Pluem masih berdiri termenung di balkon Apartemen adiknya, Nanon. Sudah beberapa hari sejak pertemuan terakhirnya dengan Chimon, dia malas pulang ke Apartemennya sendiri. Memutuskan untuk sementara tinggal dengan Nanon dan menceritakan semua yang dialaminya dengan Chimon. Setidaknya itu bisa sedikit mengurangi kegalauannya saat ini.

Malas makan dan sering melamun menjadi aktifitas barunya akhir-akhir ini. Suasana hatinya masih tidak bagus, tapi dia berusaha untuk terlihat baik-baik saja di hadapan Nanon.

"Kak, kakak masih mau nginep di sini?" Suara Nanon membuyarkan lamunan Pluem.

"Ehm, kalau boleh sih."

"Yaelah, kak.. bolehlah."

"Trimakasih, Non."

"Kak.." Nanon menyentuh pundak Pluem. "Aku tau ini sulit buat kakak, tapi aku yakin kakak pasti bisa segera melupakannya."

"Kamu ini ngomong apasih? Kakak baik-baik aja nih buktinya lihat mata kakak. Emang kakak nangis hah?" Ucap Pluem sembari mengerjapkan kedua matanya kearah Nanon.

"Kakak gak usah bohong sama Nanon."

"Kakak nggak bohong non. Kakak beneran baik-baik aja."

"Udahlah jangan berpura-pura kak. Nanon tau tiga tahun itu gak sebentar kak. Pasti udah banyak kenangan indah yang udah kakak sama Chimon laluin dan sekarang kakak ngomong baik-baik aja itu mustahil."

"Stop, non.. please stop. jangan bahas itu lagi. Jangan bikin kakak keinget lagi sama Chimon." Ucap Pluem dengan suaranya yang mulai serak dan kedua matanya yang mulai berkaca-kaca. Pertahanannya runtuh seketika mengingat semua kenangan yang telah dirinya dan Chimon lalui. Seumur hidupnya dia tidak pernah menangis seperti ini. Pluem selalu menghadapi segala sesuatu dengan dewasa. Namun, kali ini beda karna yang dihadapinya adalah soal hati karna Chimon adalah cinta pertamanya jadi sangat sulit baginya untuk tidak menangis sekalipun dia sudah berusaha agar tidak menangis.

"Maaf, kak. Please jangan nangis, Nanon gak.."

"Udahlah, non. Gak apa-apa kok. Gak usah ngerasa bersalah seperti itu." Sela Pluem sembari mengusap air matanya yang sempat terjatuh.

"Tugas kita sekarang do'ain yang terbaik buat Chimon. Semoga calon suami Chimon bisa bahagiain Chimon melebihi kakak. Kakak juga sadar, seberapa lamapun kakak dan Chimon bersama gak menjamin kami bisa berjodoh."

"Nah, gitu dong. Ini baru Pluem Vihokratana putranya papa Tay Vihokratana yang Nanon kenal." Ucap Nanon bangga sembari menepuk bahu kakaknya itu.

"Kakaknya siapa dulu dong?"

"Hadeeeh... iya-iya Nanon tau. Kakaknya Nanon ganteng Vihokratana itu kan?" Jawab Nanon PD diiringi gelak tawa Pluem. "Eits, jangan lupa kembarannya siapa ayo?" Nanon balik bertanya.

"Jelaslah kembarannya Purim Vihokratana. Emang siapa lagi?"

"Eh, kak.. gimana kalau kita ke Apartemen kak Purim? Nanon kangen nih. Bentar lagi kak Purim kan mau nikah, aku pengen kepo-kepo seputar calon kakak ipar."

"Tuh kan, kumat lagi wartawannya. Bakat kamu jadi wartawan, non." Jawab Pluem malas.

"Dipikir-pikir, kita ini kayak cuma dua bersaudara ya, kak. Meskipun ada kak Purim, dia kayak yang gak ada gitu."

"Gak ada gimana maksudnya, non?"

"Coba aja kakak pikir, saudara kita satu universitas sama kita, cuma beda fakultas aja tapi untuk bisa bareng-bareng sama kak Purim kayaknya sulit banget."

"Kamu tau sendirikan, kalau Purim emang selalu sibuk. Lagian dia juga gak suka berbaur sama orang lain." Jawab Pluem yang memang sangat tau seperti apa saudara kembarnya ini.

Rasa Untuk PluemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang