Chimon berdiri menatap cermin besar didepannya, yang menampakkan dirinya berbalut setelan jas berwarna putih. Chimon menghela nafas dan menatap pantulan wajahnya dengan sendu. harusnya hari ini adalah hari yang paling bahagia untuk orang yang akan menikah, namun tidak bagi Chimon karna pernikahannya hanya atas dasar kompromi.
Sesaat kemudian sebuah tangan mendarat di pundak Chimon. Tampak dari pantulan cermin Off berdiri disamping Chimon.
"Chimon, ayo turun semuanya sudah menunggumu, nak."
"Ayah.. apa pernikahan ini emang benar akan terjadi?"
"Maafkan ayah, nak. Semuanya sudah terlanjur." Jawab Off merasa bersalah.
"Ayah tau kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini dan ayah juga tau kalau Pluem pasti sangat terluka."
"Nggak apa-apa kok, yah.. Chimon paham. Keputusan kak Pluem itu udah bener. Kita nggak bisa ngebatalin semuanya seenak kita."
"Terimakasih kamu sudah mengerti semuanya, nak." Ucap Off memeluk Chimon.
"Ayo kita turun.. semuanya pasti sudah nunggu kamu."
"Ayo, yah."
Off dan Chimon beranjak keluar dari kamar hotel. Off menggandeng tangan Chimon menuruni anak tangga menuju aula tempat pernikahan akan dilangsungkan. Semua keluarga dan tamu undangan sudah berkumpul, termasuk Pluem.
Semua mata tertuju pada Chimon. Mereka yang hadir tampak ikut bahagia, kecuali Pluem. Sementara di altar, tampak Purim didampingi Nanon menunggu kedatangan Chimon.
Chimon berjalan pelan menuju altar, namun matanya hanya tertuju pada Pluem yang berada didepan altar bersama barisan para undangan.
Sampai tepat disamping Pluem yang berdiri, Chimon berhenti sejenak dan menatap Pluem. Pluem menganggukkan kepalanya pelan, memberi isyarat pada Chimon agar tetap melanjutkan pernikahannya.Sesaat mereka masih berpandangan. Tak lama kemudian, Chimon naik ke Altar dan berdiri disamping Purim.
Pendeta memulai acara pernikahan. Semua tamu undangan berdiri Khidmat menyaksikan pernikahan Chimon dan Purim.
Upacara pernikahan berjalan lancar. semua tamu undangan bertepuk tangan berbahagia atas pernikahan keduanya. Sementara Pluem juga ikut bertepuk tangan, namun hatinya hancur karna saat ini kekasihnya telah resmi menjadi milik orang lain. Matanya mulai basah, namun secepat kilat Pluem beranjak dari tempat itu, dia takut kalau ada yang melihatnya menangis.
-
Pluem masuk kedalam toilet, menutup pintunya dan menguncinya dari dalam. Dia membasuh mukanya dan menatap cermin yang memantulkan wajahnya, menampilkan gambaran matanya yang sembab. Pluem sudah tidak tahan lagi, dia menangis sejadi-jadinya meluapkan semuanya bersama air matanya yang mengalir.
Setelah agak lama didalam toilet, pluem memutuskan untuk keluar. Tampak Chimon sudah berdiri didepan Pintu dan berjalan kearah Pluem. Pluem yang bingung dengan tingkah Chimon, perlahan mundur hingga tubuhnya tersandar pada tembok. Sementara Chimon terus mendekati Pluem dan mengungkung tubuh Pluem.
"Chi.. Chimon, apa-apaan ini?"
"Kenapa? Kakak takut?"
"Chimon.. sadar kamu itu kakak iparku sekarang. Gak seharusnya kamu kayak gini, mon."
"Lalu, Chimon harus apa?" Tanya Chimon. "Apa Chimon harus pergi kekamar Purim, lalu melayaninya sementara disini kakak terluka, Gitu."
"CHIMON..!!!" Bentak Pluem.
"Kenapa, kak? Kakak nyuruh Chimon buat nikah sama Purim, oke udah Chimon lakuin. Tapi maaf, kak. Chimon gak bisa ngasih tubuh sama perasaan Chimon buat dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Untuk Pluem
Historia CortaHOMOPHOBIC HARAP MINGGIR!! Hanya cerita tentang dilema seorang Chimon. Tulisan pertama. Belajar. Amatir. Amburadul