Satu per satu mereka pergi, meninggalkanku yang masih duduk bersimpuh di samping nisan dan gundukan pekat yang masih basah. Gerimis. Taburan bunga pun masih terlihat segar, meski tak lagi semerbak wangi. Aroma khas, setelah air memercik tanah yang bermandi terik siang tadi.'Tega sekali kau meninggalkanku seorang diri, Ibu ...?'
"Kita pulang sekarang," bisik lelaki di belakangku. Tak bergeming, juga tak ingin beranjak. Tidak saat ini. "Yuna ...." Dia kembali memanggil, orang yang seharusnya kupanggil 'Ayah'.
"Tinggalkan aku sendiri," lirihku.
"Sebentar lagi hujan. Sore ini juga, kita harus pergi ke Semarang."
"Tidak mau."
"Maka kau akan membuat ibumu tak tenang." Datar saja sahutnya.
Aku terdiam. Jahat sekali kau, Bu! Kenapa tidak kau buang saja aku ke Panti Asuhan? Bagaimana bisa kau serahkan anakmu pada orang yang membunuhmu? Laki-laki yang kau cintai sampai akhir, yang tak pernah sekali pun memberikan hakmu sebagai seorang istri dan hanya menjadikanmu simpanan yang bermandi air mata?
"Lima menit. Ada yang harus kusampaikan untuk yang terakhir kali padanya," gumamku.
"Ayah tunggu di mobil." Dia kembali berbisik. Aku tak menyahut, membiarkan dia pergi setelah meninggalkan payung berwarna hitam di dekat kaki.
Sekali lagi kupandangi nisan itu, ada nama yang terukir di sana. Nama seorang wanita yang paling berharga sekaligus paling kubenci seumur hidupnya, bahkan setelah dia pergi. Tidak! Aku tidak akan menangis untukmu, Bu. Aku tidak akan menjadi seorang yang lemah sepertimu. Kau akan lihat itu!
Perlahan, kuraih payung yang masih terbuka itu dan meletakkannya di atas pusara. Berdiri kemudian berbalik pergi, masuk ke dalam Avanza hitam yang telah lama menunggu. Mobil yang akan membawaku ke dunia asing yang tak pernah sekali pun terpikirkan sebelumnya.
---
Namaku Yuna, delapan belas tahun. Anak dari seorang wanita simpanan, yang hidup dari berjualan warung di tepi jalan, dekat Terminal Bus. Jangan pernah membayangkan bagaimana kerasnya kehidupan kami. Jauh dari kata nyaman, bahkan lekat dengan kehidupan yang jalang. Aku pun tahu, ada dua orang wanita malam yang juga menjadi pelayan setia di warung kami.
Asap rokok dan aroma minuman keras, telah akrab di penciuman sejak usiaku kecil, bahkan tak merasa heran saat beberapa orang lelaki yang berbeda, keluar masuk ke bilik kecil di belakang warung, yang hanya berdinding kayu dan berpintu tirai. Ibu akan menyuruhku pergi, dia tak pernah mengizinkanku berada terlalu lama di warung tempatnya bekerja. Aku lebih sering tinggal di tempat kost, sejak SMP.
Mobil masih melaju perlahan.
"Tidurlah. Nanti kubangunkan kalau sudah sampai," ucapnya.
Lelaki tua itu, ayahku. Dia datang dua hari yang lalu, saat Ibu telah lelah berjuang melawan penyakitnya setelah sempat dirawat tak sampai sebulan di Rumah Sakit. Menemani hingga wanita yang terabaikan itu menutup mata.
"Tidak bisakah kau kirim aku ke Panti saja?"
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Aku tak ingin tinggal bersamamu."
"Jangan bicara lagi. Semua sudah kuurus, termasuk sekolahmu. Suka atau tidak, kita akan tinggal bersama."
Kalau saja tidak sedang terlibat masalah, aku sudah kabur selesai pemakaman Ibu. Orang itu kini satu-satunya wali, yang menjamin kebebasanku, setelah terciduk di sebuah tempat hiburan bersama teman-teman, tepat di malam Ibu tiada.
"Jangan mengaturku."
"Mulai sekarang kau harus terbiasa. Kalau tak ingin menghabiskan masa mudamu di dalam penjara."
Aku benci lelaki tua itu! Meski Ibu selalu membela, tapi bagiku dia adalah orang yang paling pantas untuk disalahkan. Dulu, aku selalu merindukannya datang setiap awal bulan, tapi lambat laun kebencian itu mengakar kuat saat mengetahui yang sebenarnya terjadi. Bahwa dia telah memiliki keluarga lain sebelum kami.
'Bertahanlah, Yuna. Berjanjilah sama ibu. Setidaknya sampai kau lulus. Setelah itu kau bisa kuliah dan memilih jalan hidupmu sendiri.' Itulah pesan terakhir Ibu.
Aku menyesal menyanggupi permintaan wanita itu, demi melihat senyum di wajah pucatnya.
"Ayah bilang pada mereka kalau kau keponakan jauh. Tolong mengertilah."
Aku hanya tersenyum getir mendengarnya, sudah kuduga. Dia terlalu pengecut untuk mengakui kesalahan dan mengatakan yang sebenarnya. Jauh-jauh ke Semarang hanya untuk menjalani kehidupan yang penuh sandiwara?
"Aku benci padamu." Lirih, aku menggumam. Ingin sekali mengumpat tapi urung kulakukan mengingat dia adalah orang yang paling ingin dilindungi oleh Ibu. "Seharusnya kau tak pernah kembali dan mengganggu kehidupan kami," lanjutku dengan suara bergetar.
"Aku ayahmu, Yuna."
"Lebih baik tak punya ayah sepertimu."
"Benci ayah sesukamu. Kita tetap harus bersama karena itu yang diminta ibumu." Kata-katanya semakin membuat hatiku sakit, teramat sakit.
Mobil terus melaju, membawa kami semakin dekat dengan tempat yang akan menjadi rumah baru, atau mungkin menjadi awal kemalanganku.
---
》
KAMU SEDANG MEMBACA
YUNA
General FictionTentang pergolakan batin dan jalan hidup seorang anak yang tak diharapkan.