Apa maksud, Om? Lepas!" Aku meronta, berusaha menepis tangannya yang kembali menahanku.
"Tetap di tempatmu!" ancamnya.
"Awwh! Sakit, Om. Lepaskan dan keluar dari sini atau aku akan teriak!"
"Coba saja. Kita lihat reaksi Fani saat tahu siapa yang sedang tinggal di rumahnya. Ayo, panggil." Mata itu masih menatapku, bahkan lututnya telah naik ke tempat tidur dan beralih mencengkeram kedua pipiku. "Jangan berpikir kalau aku menginginkanmu. Kau tidak cukup menarik buatku. Aku hanya ingin kau temani selama mengerjakan tugas kantor, di bawah. Paham?"
Aku membenci pria tampan itu, yang kini telah berdiri tegak setelah melepaskan cengkeramannya dari wajahku. Sakit.
"Cepat turun!" perintahnya sebelum berbalik dan pergi ke luar kamar, tanpa menutup pintu. Tak kusangka pria yang selalu hangat itu bisa bersikap berbanding terbalik saat ini. Jauh berbeda dari Frans yang penuh kasih saat bersama Fani, adikku. Setidaknya aku sudah mencoba menjadi kakak untuknya.
Tanpa menunggu lama, aku segera menyusul turun dengan langkah hati-hati agar tidak bersuara. Akan semakin runyam kalau Fani sampai terbangun dan membuat Frans bertindak lebih tak terduga untuk mengancamku. Kenapa pria setampan itu mempunyai dua pribadi yang berbeda?
Frans tidak ada di dapur atau di ruang tengah, juga teras samping taman bonsai yang berjejer rapi di antara sinar lampu yang redup. Kemana dia? Tidak mungkin aku harus datang ke kamarnya.
"Duduk!" Tiba-tiba dia datang dari belakang, membawa laptop dan duduk di kursi rotan panjang di dekat pintu tempat aku berdiri.
Aku menurut, duduk di dekatnya. Melihatnya mulai membuka lipatan pipih itu dan sibuk mengutak-atik keyboard. Hening kembali untuk beberapa saat. Apa ini? Tidak salah dia hanya menyuruhku untuk duduk diam mematung di depannya?
"Aku mengantuk," gumamku seraya menutup mulut yang menguap tak tertahan.
"Diam di tempatmu!" sanggahnya tanpa menoleh. Tidak ingin dia semakin marah, aku kemudian kembali diam. Malam kian dingin.
Aku benar-benar telah hilang kesabaran dan bersiap untuk pergi. "Aku bilang diam di sana!" bentaknya lagi saat aku berdiri.
"Aku ngantuk, Om. Ini sudah hampir satu jam dan aku bukan pembantumu."
"Lalu siapa? Putri raja?" sahutnya seraya menutup laptop dan berdiri sehingga kami berhadapan.
"Apa yang sebenarnya Om inginkan? Kenapa harus bersikap kasar padaku?"
"Karena tidak ada alasan untuk bersikap baik padamu. Harusnya tak perlu menanyakan hal itu, kalau kau punya rasa malu."
Aku benci saat-saat seperti ini, saat orang lain selalu mengaitkan kehidupanku dengan ibu yang telah dicap sebagai sampah yang tidak berharga. Mereka tak pernah peduli dengan apa yang kami alami selama menjalani hidup yang tak mudah.
"Tak perlu Om ingatkan karena aku memang tak perduli," ucapku seraya berbalik.
"Mau kemana kau?!" Lagi-lagi dia menangkap lenganku, mencoba untuk memeluk dan mendekatkan wajahnya.
"Apa yang Om lakukan? Lepas!" Aku terus meronta dan menepis kedua tangannya.
"Frans!!" Jeritan itu memecah malam sekaligus membuatku terdorong dua langkah ke belakang. Frans pun tak kalah terkejutnya sepertiku saat melihat Tante dan lelaki tua itu telah berdiri di depan kami, menatap dengan mata membeliak. "Apa-apaan kalian?!" pekiknya lagi.
Frans tergagap, tak bersuara dan hanya menoleh menatapku yang juga diam seribu bahasa. Rasa nyeri di lengan karena cengkeraman pria itu, tak seberapa sakit saat melihat sorot mata lelaki tua di depanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
YUNA
General FictionTentang pergolakan batin dan jalan hidup seorang anak yang tak diharapkan.