bag 2

615 41 4
                                    


Tanpa sadar, ada senyum yang susah kutahan sehingga memaksa tangan ini untuk mengusap wajah. Saat itulah jantung semakin berdegup tak karuan mendapati dua pasang mata yang menatap tajam dari dua sudut yang berbeda. Ada apa dengan mereka? Diam-diam kami seperti perang tanpa kata. Frans dan Bram pun sesekali tampak saling mencuri pandang meski tak lama.

"Tehnya mulai dingin. Kami ambil sebentar ya, Tante?" Fani tersenyum ke arah dua wanita itu sembari meraih baki berisi guci kecil di atas meja. Dari kerlingan mata bulatnya, dia memberi kode agar aku pun mengikuti.

"Makasih, Cantik." Wanita yang sempat dipanggil kakak oleh Bram itu yang menimpali tanpa sungkan. Hanya melirik sebentar saat aku bangkit untuk menyusul Fani menuju ke dapur.

Aku selalu rindu aroma rumah ini, juga peralatan dapur yang tertata apik seolah mencerminkan betapa piawainya Tante Aisyah mengurus semua. Sayang sekali, tak bisa terus bersama mereka setiap hari.

"Ada yang kau sembunyikan dari kami?" Pertanyaan Fani yang tiba-tiba itu membuatku terdiam. Mata gadis itu bahkan menyipit saat menatap penuh selidik. "Mau main rahasia?" lanjutnya.

"Rahasia apa?"

"Nggak usah pura-pura lagi, Yuna. Jelasin sekarang juga atau kutanyakan sendiri sama Pak Bram."

"Jelasin apa? Kanu ngomong apa, sih?" kilahku seraya meraih termos untuk menuangkan air panas ke dalam guci yang tadi dibawa oleh Fani dan diletakkan begitu saja di meja makan.

"Tidak mungkin mereka ke sini dan ingin bertemu kamu kalau kalian tidak ada hubungan apa-apa, Yuna?"

"Mereka klien Ayah, Fani. Kamu kan dengar tadi mereka ngobrolin apa. Nggak usah ngomongin hal nggak jelas, ah!"

"Itu cuma kebetulan, Yuna? Orang yang mereka tanyakan saat datang ke mari itu kamu. Ngerti?"

"Enggak." Aku hanya menggeleng, mencoba menahan desir aneh dalam dada. "Untuk apa mencariku?" gumamku.

"Mana kutahu?" sahutnya, kemudian berlalu setelah menyambar baki dan bergegas kembalu ke ruang depan. "Kita bicara lagi nanti. Semua." Ia sempat mendengkus lirih.

Sebenarnya aku tak mengerti dengan apa yang membuatnya begitu penasaran. Fani memang pernah bilang kalau Bram adalah tipe pria yang dia sukai meski tidak secara jelas. Wah ... jangan sampai dia bertanya pada pria itu.

Degh!
Langkah ini tertahan saat Frans tiba-tiba muncul dan langsung menarik tanganku kembali masuk ke dapur.

"Ada apa sebenarnya, Yuna?" tanyanya sedikit berbisik. Gerak matanya sesekali mengawasi keadaan di belakangku. Mungkin tidak ingin seseorang melihat kami, termasuk Fani yang baru saja pergi. "Siapa mereka?" bisiknya lagi.

"Bukannya mereka sudah bilang tadi? Kenapa, sih? Heran ...." Tak mengerti dengan raut wajahnya yang sedikit memerah, aku berbalik meninggalkannnya. Tetapi lagi-lagi dia menahan tanganku.

"Siapa dia?"

Aku tak langsung menjawab pertanyaan lirih itu, hanya membalas tatapannya sembari melepaskan pegangannya perlahan. "Bukan siapa-siapa," gumamku sebelum pergi meninggalkannya berdiri di sana.

Mereka masih berbincang disertai tawa sesekali. Kali ini, Fani duduk di tempatku duduk sebelumnya hingga harus mendekat ke kursi dekat Ayah yang sempat tersenyum melihatku.

"Emm ... bisa antar saya sebentar, Yuna?" Wanita di sebelah Bram berdiri dan membuatku urrung untuk duduk. Semua juga melihat ke arah kami. "Saya ingin ke belakang sebentar," lanjutnya seraya tersenyum kepadaku.

"Oh, ya. Mari," sahutku mengangguk.

"Makasih." Wanita itu berjalan mengikutiku setelah tersenyum pada yang lain. Kami sempat berpapasan dengan Frans yang hanya mengangguk pada kakak dari mantan guru olah raga itu.

Bukannya masuk ke dalam kamar mandi yang kutunjukkan, dia justru menarik dan mengajak untuk duduk di kursi meja makan. Ada apa ini?

"Sudah berapa lama?" tanyanya semakin membuatku bingung.

"Mm ... maksudnya?"

"Bram bukan orang yang mau terikat, tapi dia bersikeras untuk meminta kami menemuimu. Sudah berapa lama kalian berhubungan? Sepertinya ... kau biasa saja. Tidak ada yang istimewa." Ujung alis wanita cantik itu sedikit terangkat, juga senyum tipis yang seolah meremehkan.

"Saya ... tidak mengerti apa yang anda bicarakan. Maaf," gumamku seraya berdiri. "Kamar mandinya di sebelah sana. Permisi."

"Ap-apa? Tunggu ...!" Tidak begitu keras dia berseru, mencoba mencegahku pergi. Inilah yang tidak kusukai dari kebiasaan orang kaya yang konon terhormat. Sikap yang sering memandang rendah orang sepertiku. Kaum rendahan.

Bergabung kembali dan mencoba untuk mendengarkan pembicaraan yang masih berlangsung hangat. Beberapa kali menghindari kontak mata dengan Frans atau pun Bram meski kadang Fani memancingku lewat gurauan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

YUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang