13

596 42 4
                                    


Kami saling pandang, semilir hangat berhembus lembut dari kolam pemancingan menerpa wajah. Sesekali ujung rambut pria berwajah bersih itu jatuh ke dahi, bergerak tersepoi angin.

"Bapak sedang menghinaku?" Tidak ada jawaban, hanya tatapan yang lekat. "Kita memang pernah berada di situasi yang salah. Meski aku pernah melayani Bapak, tapi bukan berarti bisa diperlakukan seperti ini. Sudah sore, sebaiknya kita pulang sekarang," ucapku sebelum berbalik meninggalkannya.

Langkahku terhenti saat dia meraih tangan dan memegang pergelangan tangan kananku. "Dengarkan aku dulu, Yuna." Lirih dia memanggil.

"Antarkan aku pulang," sanggahku menepisnya.

"Aku belum selesai bicara."

"Tidak ada lagi yang harus dibicarakan, Pak. Sebaiknya kita tidak lagi bertemu seperti ini. Bagaimanapun, Bapak adalah seorang guru."

Pria itu diam, tak lagi menyahuti kata-kataku kemudian berjalan mendahului untuk segera pergi meninggalkan tempat itu. Keheningan berlanjut selama perjalanan menuju ke rumah, tak sekali pun dia bersuara sampai akhirnya mobil berhenti di depan gerbang.

"Terima kasih," ucapku dengan sedikit mengangguk dan membuka pintu.

"Pikirkan baik-baik permintaanku, Yuna. Aku tidak main-main," lirihnya. Aku menoleh menatapnya, tapi kemudian segera turun tanpa bicara apa-apa lagi.

Dasar sinting! Bisa-bisanya dia melamar anak didiknya sendiri. Mau dihujat banyak orang? Orang aneh!

Begitu memasuki halaman setelah mobik Pak Bram pergi, suasana tampak sepi. Tidak ada mobil hitam ayahku atau Fani. Hanya mobil Frans yang sepertinya masih belum dimatikan mesin. Benar saja! Pintu terbuka dan dia muncul dari dalamnya.

Aku mempercepat langkah, tak ingin berada dalam situasi mencekam seperti malam itu.

"Tunggu!" panggilnya. Aku tak berhenti, justru mulai berlari. "Yuna ...!" teriaknya.

Tiba-tiba lariku terhenti saat melihat apa yang kini terjejer di ruang tengah. Beberapa koper dan kardus perkakas. Apa ini? Frans telah sampai di dekatku dan dengan cepat mencekal lengan ini tanpa perlawanan. Satu hentakan saja kini membuat kami berhadapan.

"Apa maksudnya ini?" tanyaku.

"Kau lihat sendiri. Aku yang akan pergi dari rumah ini." Dia menjawab dengan datar.

"Kenapa?" tanyaku tanpa sadar. "Apa karena kehadiranku?"

"Bagus kalau kau mengerti," sahutnya. Aku hanya diam menatapnya. Ada rasa bersalah, tapi juga benci saat mengingat perlakuan kasarnya waktu itu.

"Seharusnya kalian tidak membawaku lagi ke mari. Orang sepertiku memang tidak pantas berada di tempat seperti ini. Aku akan bicara dengan Tante."

"Bicara apa?"

"Agar Om tak perlu pergi meninggalkan rumah ini," sahutku.

"Dan harus terus tinggal bersamamu setiap hari?" gumamnya. Aku menahan napas saat membalas sorot matanya yang memicing. Tampak rahangnya yang kokoh mengatup rapat. "Kenapa kau harus hadir dalam kehidupanku, anak haram?" geramnya.

"Aku bukan anak haram," sanggahku sembari meringis karena cengkeramannya di lengan. "Sakit ...." Lirih aku merintih berusaha mengelak tapi dia tetap tidak mau melepaskan.

Lalu ....
Mata ini membeliak saat tiba-tiba mendapatkan sentuhan dibibirku, kasar. Ketika mencoba mendorongnya, dia justru merengkuh dan menarik belakang kerudung hingga kepalaku tetap tertahan tegak. Aku terbungkam untuk beberapa detik.

"Apa yang Om lakukan?!" pekikku saat bisa mendorongnya dengan kuat. Reflek tangan kananku terangkat namun dia lebih dulu menangkapnya. "Lepas!" erangku.

YUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang