Pria itu melihatku dengan sorot yang sulit diartikan. Bukan tatapan iba atau ... terpesona, tapi lebih seperti orang yang menangkap basah penguntit di rumahnya. Dulu, tatapan seperti itu juga pernah kudapatkan saat ketahuan mencuri parfum di sebuah mini market.
"Jadi begini aslimu?" gumamnya seraya mendekat.
Entah apa maksudnya, tapi aku segera berdiri lalu membawa piring kosong itu ke dapur, mengabaikan tatapannya dan mencuci piring. Dia pasti melihat semua, juga saat aku menangis seperti orang bodoh. Ahh ... kenapa tak mendengar kedatangannya sama sekali? Aku begitu kalap karena rasa lapar yang membuat teringat Ibu.
"Hey!" panggilnya, menahan langkahku yang hendak naik kembali ke tangga setelah selesai mencuci piring.
Langkahnya semakin mendekat, lalu berhenti tepat di belakangku. "Kita bicara sebentar," bisiknya begitu melintas dan mendahului menuju ke luar rumah.
Dari dalam, suara Tante masih mengalun merdu dengan pelan. Setelah mencoba bersikap tenang, aku pun bergegas menyusulnya yang telah duduk di bangku teras samping, dekat taman bonsai koleksi pemilik rumah ini.
"Duduk!" perintahnya menggumam dan menyuruh duduk melalui gerakan mata. Aku tak bergeming, hanya berdiri di dekat pintu. Sempat terdengar helaan napas sebelum akhirnya dia berdiri dan mendekat padaku. "Jaga sikapmu di rumah ini," bisiknya.
Aku tak mengerti maksud dari kata-katanya, hanya berusaha tetap berdiri tegak meski kini kami sangat berdekatan. Maniknya yang tajam menyapu setiap sudut wajah ini, dan ... aku tak menyukainya.
"Kau anak haram itu, kan? Anak yang disembunyikan oleh suami kakakku selama ini?" lirihnya lagi.
Kali ini seperti ada sengat yang membuat wajahku memerah, terasa panas menjalar aliran darahku. Tangan mencengkeram ujung kaus.
"Kakakku mungkin terlalu bodoh, tapi aku tidak. Akan kupastikan kehadiranmu di sini tidak untuk menyakitinya, terutama Fani. Paham?!"
Aku bungkam, mengatupkan rahang kuat-kuat. Seketika berpaling saat tiba-tiba wajah pria itu mendekat seperti hendak menciumku. Bedebah! Dia tersenyum, kemudian berlalu setelah sengaja menyenggol sisi bahuku. Masih terasa embusan napasnya saat melintas pergi.
Entahlah! Tak ada yang bisa kulakukan selain diam, lalu membuang pandangan ke taman bonsai yang berjejer rapi di depan mata. Bahkan nasib mereka jauh lebih beruntung dariku, tetap dirawat meski sengaja dibuat kerdil. Tidak sepertiku yang harus tetap hidup dalam keterasingan, tidak diharapkan.
"Yuna ...?" Suara lembut itu membuatku menoleh, melihat Tante mendekat dan mengusap punggung dengan hangat. "Ngapain di sini, Nak?" tanyanya tersenyum.
"Hanya ... teringat Ibu, Tante," jawabku lirih. Wanita itu terdiam sebentar, lalu mengajakku masuk kembali.
"Kirimkan doa setiap selesai salat, Nak. Ibumu sudah tenang di sana, jangan menyesali semua yang telah terjadi. Semua sudah ada ketentuan-Nya," Dia kembali menasehatiku seraya mengusap kepala dengan lembut.
Aku ... membenci perasaan ini, merasa bersalah saat melihat senyum wanita itu.
"Iya, Tante. Yuna ... naik dulu," pamitku. Dia mengangguk lalu membiarkanku pergi meninggalkannya, naik ke kamar.
Aku tidak bisa tinggal di sini. Secepatnya harus menemui lelaki tua itu dan meminta untuk mencarikan tempat lain, atau meminta sejumlah uang agar bisa pergi jauh dan menghilang dari kehidupan mereka.
Lagi-lagi, aku hanya diam di kamar mandi, berteman sebatang rokok yang menyala di tangan. Air kran mengucur, mengiringi kepulan asap yang menguar ke seluruh ruang kecil ini. Pengap.
KAMU SEDANG MEMBACA
YUNA
General FictionTentang pergolakan batin dan jalan hidup seorang anak yang tak diharapkan.