Mengenakan seragam panjang tertutup, apa lagi harus menahan rasa gatal di kepala, sungguh membuatku tak nyaman. Terlebih saat harus berdiri di depan kelas untuk memperkenalkan diri. Meski sedikit liar dan tak suka diatur, tapi berbicara di depan banyak orang bukanlah kemahiranku.
Fani mengedipkan sebelah mata saat Guru memperkenalkan nama dan asal Sekolahku sebelumnya. Mencoba menatap wajah-wajah yang sedang memerhatikan meskipun ada beberapa yang tampak acuh dan mengobrol sendiri, saling berbisik.
"Oke. Silakan duduk, Yuna." Kalimat itu membuatku bernapas lega, setelah lumayan lama berdiri.
"Sini!" panggil Fani. Aku pun segera berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya.
"Kosong?" tanyaku. Gadis itu mengangguk seraya menggeser kursinya lebih mendekat.
"Benarkan jilbabmu," bisiknya.
Aku mengangguk dan menarik ujung jilbab di balik punggung agar lebih rapi. Ini sungguh menyiksa. Beberapa siswa yang lain sempat melirik, termasuk cowok-cowok yang duduk di barisan belakang. Ada satu yang sempat menatap dengan tajam, tepat duduk di dekat jendela. Namun tak kuhiraukan lagi karena pelajaran telah dimulai.
Karena baru mengikuti pelajaran, aku hanya menyimak penjelasan dari Guru sambil sesekali membalik buku cetak di meja. Fani tak segan menunjukkan catatan kecilnya untuk kusalin. Walau sedikit tersendat, aku masih bisa mengimbangi materi yang disampaikan karena tak jauh berbeda dengan yang kudapat di Sekolah sebelumnya.
Jam istirahat pun, aku tak meninggalkan kelas karena harus menyalin tugas yang harus dikumpulkan. Sedikit kepayahan, tapi Fani kembali membimbing tanpa ragu.
Sejenak melupakan rasa benci yang selama ini menguasai hati, juga sedih yang tak ingin lagi kuingat saat mengenang kembali pucatnya wajah Ibu karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Paling tidak, dia tak harus menanggung rasa sakit itu sekarang.
__
"Kau ... masih mengingatnya?" tanya Fani berbisik saat kami mengemasi buku, bersiap untuk pulang. Aku hanya menatapnya tak mengerti, "Ibumu," lanjutnya.
"Oh ...." Aku hanya menggeleng, mencoba menepis bayangan wajah kurus itu dari pikiran.
"Kau pasti merasa kehilangan. Jangan sedih, Yuna. Ada kami, hmm?" gumamnya.
"Kalaupun masih hidup. Dia hanya akan menderita. Kenapa sedih?" jawabku, segera bangkit dan berjalan mendahului gadis cantik itu. Dia pun mengejar dan menggandeng lenganku.
"Maaf, Yuna. Harusnya aku tak menanyakan hal itu."
"Nggak apa-apa," sahutku pelan.
"Fani ...!" Ada yang memanggil begitu kami menuruni tangga. Cowok yang tadi duduk di dekat jendela kelas.
"Apa?!" sahut Fani ketus. Wah ... sepertinya memang kami mirip, mungkin karena darah mengalir dari ayah yang sama.
"Gitu amat jawabnya?" Dia tergelak, lalu berjalan mendekat sambil melirik ke arahku. "Masih saudara? Boleh dong, hang-out bareng," lanjutnya.
"Maunya ... nggak bisa lihat yang licin dikit aja, Kau! Nggak usah, ya?! Dia ini kakakku. Jangan macem-macem!" Aku hanya terdiam. Ucapan Fani membuat hati ini merasa cemas, diam-diam berharap agar itu hanya gertakan saja.
"Jiahaha ... biasa aja, Dodol. Jangan lupa ajakin kakakmu besok, ya?" ucapnya seraya mengerling padaku.
"Wani piro?" selorohnya. Tak lama, mereka tertawa. Entah kenapa, aku merasa tak nyaman mendengarnya. Mungkinkah Fani mengetahui sesuatu tentang kehidupanku? Jangan-jangan gadis itu sedang berbohong padaku, atau ... mereka semua?
KAMU SEDANG MEMBACA
YUNA
General FictionTentang pergolakan batin dan jalan hidup seorang anak yang tak diharapkan.