Tiba-tiba terlonjak dan menemukan ruangan telah kosong, hanya ada aku yang duduk dengan kepala menunduk di meja, bertumpu kedua lengan. Kemana semua orang?
"Sudah bangun?" Suara itu begitu dekat. Seketika mendongak dan menemukan dia telah berdiri di depanku. "Hapus liurmu," gumamnya menunjuk dengan gerakan dagu.
Memalukan!Kuusap wajah dengan ujung kerudung, lalu menoleh ke kiri kanan. Benar-benar kosong dan mereka meninggalkanku sendirian? Terlalu!
"Besok, surat itu harus berada di meja kantor setelah ada tanda tangan wali. Itu kalau kau tak mau dicoret dari daftar sekolah," ucapnya.
Ah, ya. Aku harus menerima konsekuensi setelah mereka menemukan bungkus rokok di dalam tas. "Baik, Pak."
"Dan urusan kita belum selesai. Aku akan meminta perhitungan lain hari. Sekarang pulanglah. Pelajaran telah usai." Dia masih memerhatikanku berdiri, juga saat kaki ini melangkah hendak keluar ruangan setelah memungut lipatan kertas di atas meja.
"Permisi," pamitku.
"Kau masih menyimpannya?" Pertanyaan itu menahan langkahku. "Sepertinya ... kau tak merasa malu dengan pakaianmu yang sekarang," ucapnya lagi.
Aku hanya diam, bahkan saat kami berdiri berhadapan. Aroma itu kembali memenuhi rongga penciumanku, lembut dan menyegarkan.
"Aku lebih suka melihatmu tak memakainya. Seperti malam itu," bisiknya lirih sebelum berbalik dan berlalu begitu saja.
Dia benar-benar seorang guru? Bagaimana bisa sekolah sebagus ini--.
Sebentar! Aku tak menyimpannya lagi. Cincin itu."Yuna!" Panggilan dari arah lain, Fani. "Ayo, cepat. Ngapain di sini? Kutinggal, nih." Gadis itu melengos pergi.
Aku bergegas mengejarnya dan bergabung dengan siswa lain yang juga berlarian menuju gerbang sekolah. Frans sudah menunggu kami di dalam mobil. Mereka berbincang akrab seperti biasanya, sedangkan aku hanya mendengarkan. Saat kemudian kami berhenti di sebuah mini resto untuk makan pun, aku hanya mengikuti saja. Benar. Tidak ada makanan di rumah karena lelaki tua itu pergi selama tiga hari bersama istrinya.
__
Selama tinggal di kost, aku pernah menggunakan mesin pemilik rumah beberapa kali, jadi tidak bingung saat harus mencuci baju kotor di rumah ini. Setidaknya, aku masih bisa mengerjakan sesuatu yang biasanya diemban sendiri oleh istri bapakku.
"Done!" gumamku saat telah selesai menggantung semua pakaian itu.
"Bikinin susu, dong." Fani datang dan langsung duduk di bangku dekat dapur, telah mengenakan piyama biru. Gadis itu memang terbiasa hidup tertata, tidak sepertiku.
"Sebentar, Non," sahutku seraya membasuh tangan dan mengeringkannya dengan menggosokkan ke ujung kaos bagian belakang.
"Jangan terlalu panas."
"Siap." Aku hanya menimpali dengan senyum. Entah kenapa, ada rasa senang melayani gadis cantik itu dan tidak pernah sedikit pun membencinya.
"Suratmu, sudah ditanda tangan Om Frans?" tanyanya, dan aku hanya menggeleng.
"Surat apa?" Frans tiba-tiba sudah berada di dekat Fani tanpa mendengar kedatangannya. Pria muda itu pun, telah menggunakan piyama bergaris warna putih. Hanya aku yang mengenakan kaus oblong dan celana jeans pendek. Tante sebenarnya sudah menyiapkan di dalam lemari, tapi aku tidak terbiasa.
"Dari sekolah," jawab Fani.
"Kenapa? Dia bikin masalah?"
"Tau, tuh." Fani benar-benar gadis yang baik, pantas kalau semua orang ingin melindunginya. Terutama orang yang kini menatapku dengan aneh itu. "Makasih, ya?" ucap Fani saat menemani segelas susu yang kuberikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
YUNA
General FictionTentang pergolakan batin dan jalan hidup seorang anak yang tak diharapkan.