#DILEMA_(Yuna)
#season2Frans menoleh saat ponsel di tanganku berdering, kerlingan matanya seolah menyuruh untuk menjawab panggilan itu. Ayah.
"Siapa?" tanyanya berbisik sambil terus mengemudi.
Aku tak menyahut, hanya segera mengusap pelan layar pipih itu dan mengucap salam. Tak lama, terdengar sahutan dari seberang sana. Ayah memintaku segera pulang ke rumah saat ini juga, atau mereka akan datang ke rumah makan.
"Ya, Ayah. Yuna ke sana sekarang," lirihku kemudian mengakhiri percakapan singkat itu.
"Apa?" tanya pria itu lagi, terlihat penasaran.
"Ayah memintaku untuk datang."
"Sekarang?" tanyanya yang disusul dengan senyuman simpul setelah melihatku mengangguk. "Oke. Berangkat ...!" serunya.
Mobil pun melaju semakin cepat. Rencana untuk berbelanja lebih awal di pasar tradisional, sepertinya harus kutunda. Mungkin besok pagi-pagi sekali. Ke pasar saat malam, lebih menguntungkan karena sayuran atau ikan yang didapat masih baru dan segar. Ibu yang pernah mengajariku, dulu. Ahh ... seandainya dia masih ada, pasti akan menemani dan membagi keahliannya memasak lebih banyak lagi.
**
Rumah itu masih sama seperti biasa, bersih dan terawat oleh tangan Tante Aisyah, istri ayah. Wanita itu rutin meneleponku setiap hari walau sebentar karena merasa rindu. Tidak seperti suaminya yang jarang bertanya, mungkin karena kami tidak bisa terlalu dekat.
Frans mengernyit saat melihat sebuah Pajero hitam terparkir bersama dengan mobil yang lain di halaman. "Ada tamu, ya?" gumamnya menolehku.
Tak ingin menyahut, hanya mengedikkan bahu dan bergegas turun dari mobil, sama seperti yang dia lakukan. Kami beriringan memasuki rumah yang pintunya dibiarkan terbuka. Terdengar suara tawa dan orang berbincang dari dalam ruangan.
Begitu sampai di ruang tamu, semua mata menoleh kepada kami. Ayah, Tante juga Fani duduk bersama tiga orang tamu, mereka tampak akrab. Dua di antaranya belum pernah kulihat, selain pria bermata coklat itu ... Pak Bram.
"Om ...!" Fani langsung berdiri dan menghampiri Frans yang masih berdiri di depanku. Ia hanya tersenyum saat gadis itu merangkulnya dengan manja kemudian menariknya untuk duduk bersama. "Kenapa kalian bisa barengan?" tanyanya melirikku.
"Ke mari, Nak." Kali ini Tante Aisyah yang melambai ke arahku. Sempat terpaku karena diperhatikan, tapi akhirnya kaki ini membawaku untuk duduk di sebelah wanita berkerudung panjang itu. "Ini Yuna, kakaknya Fani." Hangat, Tante memperkenalkanku pada tamunya yang kemudian tersenyum menyalami mereka.
Tatapan wanita baya itu, sedikit membuatku merinding. Apa lagi perempuan yang tampak lebih muda sedikit dari Tante yang duduk di dekat Pak Bram, terlihat menyelidik sejak kedatanganku beberapa saat yang lalu.
"Ini Mami dan kakakku." Pak Bram yang menjelaskan. Sedikit membuatku risih. Sebenarnya apa tujuan lelaki itu ke mari setelah menghilang selama lebih dari dua tahun ini? Tidak pernah kuduga sebelumnya.
"Keluarga mereka adalah pelanggan tetap kita, Yuna. Mereka jauh-jauh datang untuk bersilaturahim," bisik Tante lagi yang hanya kutimpali dengan senyuman. "Kami bahkan baru tahu kalau ternyata Nak Bram pernah menjadi guru kalian di Sekolah," lanjutnya seraya menepuk bahu lelaki berkaus kerah itu.
"Dunia memang sempit," sela Pak Bram membuat dada ini sedikit bergemuruh, tidak! Itu karena sorot mata Frans yang menatapku dengan tajam, meski hanya beberapa detik. Satu-satunya yang kulakukan hanya menunduk.
"Kau ... tidak sekolah lagi, Yuna?" Suara itu berasal dari perempuan tadi, yang disebut Pak Bram sebagai kakaknya.
"Ti-dak," jawabku lirih dan tersenyum, mencoba untuk ramah di tengah beberapa padang mata yang seolah mengawasi gerak-gerikku.
"Kenapa?" Apa ini? Interogasi? Kenapa dia seolah ingin tahu banyak soal kehidupanku?
"Kakak ...." Bram sedikit menyela dan membuat mereka saling pandang.
"Kakak hanya ingin mengenalnya lebih dekat, tak boleh?"
"Iya. Kan, kita tadi sudah tahu, Kak? Kenapa ditanyakan lagi?"
"Kakak ingin bertanya langsung. Salah?"
"Sstt ...! Kalian ini apa-appaan, sih? Tak sopan." Kali ini wanita baya berpakaian rapi itu yang menengahi perdebatan kecil itu. Dari raut mukanya, tampak sekali kakak dan adik itu tidak akur. "Maaf ... mereka memang sedikit kekanak-kanakkan meski sudah berumur," bisiknya tertawa kecil.
Ayah hanya tersenyum, sedangkan Tante dan Fani tertawa. Berbeda dengan Frans yang sesekali tegang saat bertemu pandang dengan. Bram. Ahh ... aku baru sadar, ternyata mereka seumuran.
Dari obrolan mereka, aku tahu kedatangan mereka ke Semarang karena urusan pekerjaan yang kebetulan mengharuskan untuk tinggal beberapa hari. Menghilangnya Bram dari Sekolah waktu itu ternyata membuatnya kembali berkutat dengan pendidikan yaang sempat terbengkalai untuk mengejar sebuah gelar. Tidak lucu kalau seorang yang akan menangani sebuah rumah sakit, tidak memiliki eksistensi di bidangnya. Begitu sedikit yang kutangkap dari arah pembicaraan mereka.
Oh ... begitu? Jadi kedatangannya ke mari, tidak untuk melamarku? Astaga! Apa yang kupikirkan? Memalukan!
Next.
KAMU SEDANG MEMBACA
YUNA
General FictionTentang pergolakan batin dan jalan hidup seorang anak yang tak diharapkan.