16. Arga dan Alena

1.2K 43 5
                                    

Hellen membekap mulutnya dengan cairan bening yang terus lolos dari mata sayunya. Sesak. Sesak sekali rasanya ketika ia mendengar anak kandungnya sendiri tidak ingin bertemu dengannya.

Hellen, saya minta maaf.

Hellen menggeleng pelan. "Mas, Mas nggak salah. Aku nggak papa Mas."

Terdengar desahan pelan di ujung telpon sana. Hellen yang semula duduk di tempat tidur rumah sakit itu, lama kelamaan beringsut dengan perasaan hancurnya.

Saya akan berusaha lagi, supaya Arga mau menemui mu.

"Percuma Mas, Arga sudah terlalu benci sama saya. Semua ini memang kesalahan saya Mas. Saya minta maaf."

Saya juga minta maaf.

Doni yang sedari tadi memegangi ponsel istrinya itu kini mengusap pucuk kepala Hellen pelan, setelah panggilan Dio sudah berakhir. Doni mendengar semuanya, semua percakapan antara Anak dan Ayah yang memang sedari tadi di loudspeaker. Hellen yang meminta semuanya, agar Dio membujuk Arga seraya melakukan panggilan telpon dengannya. Awalnya Dio menolak, karena tahu dengan resiko yang akan terjadi. Namun Hellen bersikukuh bahwa dirinya akan baik-baik saja. Hingga akhirnya Dio mengalah dan melakukan yang mantan istrinya itu mau.

"Sebesar apa dosa saya Mas? Sebesar apa?!" Hellen menangis tersedu-sedu.

Doni memeluknya, menenangkan Istrinya. "Ssssttt..kamu nggak boleh ngomong begitu. Arga hanya perlu waktu Hel,"

"Aku ibu yang jahat Mas! Jahat! Aku jahat Mas!" Seru Hellen histeris. Dan Doni dengan sigap memeluk Hellen lebih erat, untuk menenangkannya. Untuk memberikan segenap kekuatan yanh ada untuk wanitanya.

--

"Loh, Arga!" Arga menoleh, dan mendapatkan Alena tengah berdiri tersenyum kearahnya. Senyum itu, masih sama. Senyum favorite Arga.

"Ha-i." Sapa Arga kikuk.

Alena yang tadinya sudah siap ingin mengendarai motor maticnya mengurungkan niatnya. Ia justru mencabut kunci motornya dan menghampiri cowok itu lalu duduk di sampingnya. Cowok itu tengah memegang susu cokelat kotak dan memandang gamang taman di depan mini market.

"Ngapain disini?" Tanya Alena serya menenteng satu kantong pelastik belanjaan.

Arga berdehem pelan. Ia melempar bungkus susu kotak yang telah habis kedalam tempat sampah. Alena pikir cowok itu akan mengeluarkan suaranya. Ternyata ia tetap diam.

"Lo keliatan kusut banget, ada masalah ya Ga?" Tanya Alena lagi karena Arga masih diam.

Alena berani mengatakan itu, karena memang saat ini penampilan Arga sedikit berbeda. Rambutnya yang biasa tertata rapi, kini berantakan. Matanya yang biasanya menyalurkan ketenangan seteduh rembulan, kini terlihat sayu dan di perjelas dengan garis hitam di bawah mata.

"Kata bokap gue, kalo kita lagi ada masalah itu harus di bagi. Ceritain aja sama orang yang emang kita anggep deket dan aman untuk berbagi cerita. Kata bokap gue juga, kalo kita nahan dan mendem masalah sendiri, itu bakal nyakitin diri kita sendiri Ga. Yang ada malah menggangu kehidupan kita sendiri." Terang Alena.

Di bawa langit malam, dan lampu temarang Alena dapat melihat Arga dengan jelas.

"Lo bisa cerita sama gue kalo mau. Gue akan menjadi pendengar yang baik."

"Ga, lo kok keringetan sih? Padahal malem ini cuacanya dingin lho." Kata Alena meneliti wajah temannya.

"Lo lagi sakit ya Ga?" Tanya Alena.

Arga menghembuskan nafas pelan dan menoleh pada gadis berambut sebahu yang tengah di kuncir kuda itu.

"Na," panggil Arga dengan suara serak dan mata yang terus terfokus pada gadis di depannya.

Arga dan AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang