Alena berjalan pelan di belakang Arga. Ia masih belum mengucapkan sepatah kata pun setelah tadi saat di parkiran SMA Cendekia. Sebelum sampai dirumah sakit, Arga menyempatkan untuk membeli bunga di toko bunga pinggir jalan. Dan Alena hanya mengikuti cowok itu saja.
Arga memasuki kamar di mana Hellen berada. Ia mengetuk pintu terlebih dulu, dan langsung mendapatkan pemandangan Rara tengah duduk sambil tertidur di samping Ibunya. Arga menaruh bunga lily kesukaan Hellen di atas nakas, lalu meraih tubuh adiknya hati-hati dan memindahkannya ke sofa rumah sakit.
"Na? Sini," kata Arga pada Alena yang sedari tadi hanya berdiri kaku di depan pintu.
Alena sendiri bingung mau melakukan apa. Bertanya pun rasanya salah, padahal keponya sudah di ujung kepala. Alena melangkah mendekat, dan berdiri tepat di samping Arga yang tengah duduk di tempat Rara sebelumnya.
Arga kemari, karena memang ini sudah jadwalnya menjaga Hellen sampai suami Ibunya selesai pada tugas kantornya jam 7 malam nanti.
"Ini nyokap gue." Ucap Arga seraya membelai tangan kurus Ibunya. "Nyokap gue koma udah dua hari."
Alena terkejut, dan seketika ikut bersedih. Ternyata dugaan Alena benar, jika perempuan itu adalah Ibunya Arga.
"Nyokap gue nggak bangun-bangun Na. Padahal gue masih mau ngomong banyak sama dia." Lirih Arga.
Sebenarnya Arga benci untuk berlemah-lemahan seperti ini. Namun entah mengapa, seberapa besar pun Arga berusaha kuat, pada akhirnya ia akan tetap menjadi lemah.
"Sabar ya Ga, gue turut sedih." Ucap Alena yang langsung mengelus bahu tegap cowok itu.
Mungkin bagi Alena itu biasa saja, sebut saja itu salah satu bentuk respectnya pada Arga. Namun tidak untuk Arga, cowok itu justru merasakan kehangatan meskipun ia tidak mengerti apa arti sentuhan gadis itu pada bahunya.
"Gue banyak salah Na sama dia. Udah banyak luka yang gue kasih sama nyokap gue selama sepuluh tahun."
Meskipun bingung dan tidak mengerti, Alena tetap berusaha membuat cowok di sampingnya itu tidak larut dalam kesedihan.
"Ga, nggak ada yang harus lo sesalin. Sekarang itu yang harus lo lakuin adalah berdoa, dan tetap semangat."
"Gue terlalu bodoh.."
"Ssstttt, lo nggak boleh nyalahin diri lo sendiri gini."
"Lo inget kan? Tuhan nggak akan ngasih beban melebihi bates kemampuan manusia itu sendiri Ga. Lo harus inget itu terus ya. Nyokap lo pasti lebih sedih kalo lo kaya begini." Ucap Alena mengingatkan sambil terus mengelus pundak Arga.
Arga menoleh, lalu mengambil tangan mungil Alena dan menggengamnya. Arga selalu suka dengan tangan kecil Alena, rasanya pas untuk di genggam olehnya. Biarkan saja, jika Alena merasa bahwa tangan Arga bergetar dan berkeringat. Biarkan saja pula, jika Alena melihat wajah Arga kini sudah merah padam akibat malu oleh perbuatannya sendiri.
Alena mengerjap beberapa kali, dan meneguk ludahnya gugup. Pacuan jantungnya kini berdegup lebih cepat dari biasanya. Alena lalu menghembuskan nafas pelan, dan tersenyum kemudian.
"Lo adalah orang terkuat yang pernah gue kenal."
--
"Abang dari mana?"
Arga dan Alena baru saja tiba sehabis shalat magrib. Rara melihat abangnya dan bergantian pada gadis berambut sebahu yang bediri kikuk tepat di samping cowok itu.
"Dia siapa?" Tanya Rara.
Arga menarik tangan Alena menuju sofa dimana Rara masih duduk lunglai sehabis bangun tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga dan Alena
Teen FictionIni hanya kisah SMA pada umumnya. Namun cerita ini memiliki kesan tersendiri. Bagaimana bisa? Cowok yang memiliki trauma dengan wanita ternyata sudah lama memendam rasa pada seorang gadis yang kebetulan teman kelasnya. . Bagi Alena, Arga hanya sebat...