5

10 1 0
                                    

“ Kring...Kring...Kring...”

Terdengar bel pulang sekolah sudah berdering, menjadi tanda akhir pelajaran kami saat
ini.

“ Baiklah anak-anak, sebelum kita pulang adakah yang ingin menutup pelajaran siang hari ini?”

“ Saya pak” Seraya menganggkat tangan.

“ Silakan Dahlan !” Aku berdiri dan maju ke depan kelas.

“ Sebagai mahluk Tuhan kita tidak berhak menyesali kelahiran kita. Terlahir sebagai seorang yang miskin adalah takdir, namun mati sebagai seorang yang miskin adalah sebuah kebodohan. Tidak perlu cemas akan hari esok, Tuhan telah menjamin. Kita hanya perlu berusaha, menetapkan cita-cita. Tidak usah berkecil hati apabila orang lain mencemooh dan menertawakan mimpimu. Karena, mimpimu masih terlalu kecil apabila belum ditertawakan orang lain ! “

“ Terimakasih” Tutupku dengan iringan tepuk tangan seluruh isi kelas.

Pulang sekolah, aku mengajak Syahrir,Rizal, dan Arum untuk menyusul amakku ke pasar, memastikan kondisinya dan menuruti kecemasanku semenjak tadi.

Dengan keranjang merah, ia terlihat duduk bersandar di lapak tempat jualannya. Raut mukanya jelas memperlihatkan kelelahan, serta rasa sakit terus membayangi karena peristiwa tadi pagi.

“ Assalamualikum mak”

“ Walaikumsalam, ee anak-anak sudah pada pulang ya? “

“ Iyo mak.”

“ Duduklah, tumben rame-rame ke sini”

“ Hanya mau memastikan kondisi amak selepas peristiwa tadi. “

“ Amak tidak apa-apa kok, tenang saja.”

“ Benar? “

“ Iyo Dahlan “

“ Kalian ambil lah itu nasi di keranjang, pasti kalaian lapar dan belum makan.” Lanjut ibu memerintah.

“ Terima kasih amak, tapi tidak usah.” Ujar Rizal.

“ Sudah tidak apa-apa, ambilah ini.” Sembari mengambil nasi bungkus di keranjang dan memberikan kepada kami satu pesatu.

“ Terima kasih amak,”

“ Samas-sama, nanti kalu sudah habis makannya tolong nasi yang masih sisa di keranjang dikasihkan kepada kuli-kuli angkut pasar ya, amak mau sholat dulu sebentar.

“ Iyo amak”

Selesai makan kami membagikan makanan tersisa ke beberapa kuli angkut yang kami temui di pasar, meski tinggal beberapa saja. Inilah kebiasaan amak sebelum pulang dari pasar, ia selalu membagikan dagangnnya untuk orang lain. Itung-itung sedekah, katanya.

Ia selalu memintaku untuk tetap berbagi kepada sesama apapun kondisinya, karena itu bukanlah sebuah halangan untuk berbuat baik.

“ Sudah dibagikan anak-anak?” Tanya ibu.

“ Sudah mak, sudah semua.”

“ wah terima kasih, yasudah kalau begitu ayo kita pulang.”

Alangkah bersyukur aku memiliki ibu yang kuat dan penuh kasih seperti ini, ibu adalah satu-satunya tiket surga yang masih aku miliki. Oleh karena itu, aku benar-benar harus berbakti kepadanya, tidak mensia-siakannya.

Kasih manusia sepanjang jalan saja, sementara kasih ibu? Kasih ibu sepanjang masa. Mengapa? Karena ibu bukan sepenuhnya manusia, ia adalah malaikat setengah manusia.

Anak-anak Pelangi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang