13

1 1 0
                                    

Penerbangan pertama dalam hidupku kulalui dengan selamat. Tiba di bandara Juanda ,aku melanjutkan perjalan ke desa menggunakan taxi. Melihat pemandangan di sepanjang jalan membuatku terjeak ke dalam nostalgia, pemandangan yang begitu memesona masih terlihat terjaga. Dibalik keindahan Limapuluhkota terdapat sebuah keresahan dalam hati. Pesanku belum juga dibalas, biasanya kalau tidak menelfon, ibu akan meminta Siha untuk membalasnya. Aku berusaha menelfonnya, tapi juga tidak diangkat. Mungkin mereka sudah membaca pesanku dan kini, mereka sedang bersiap menyambutku.


Hal tak biasa terlihat ketika mobil memasuki desa, wilayah desa begitu sepi. Kemanakah orang-orang? Menjelang tiba di ujungg desa, tepatnya rumahku terlihat begitu ramai orang di sana. Apakah mereka begitu bahagia menyambutku? Hingga seluruh desa berkumpul di rumahku.Tak sabar, aku segera keluar dan menyuruh sopir untuk mengeluarkan koperku. Segera menuju ke dalam rumah, pasti ibu sudah menunggu.


" Assalamualaikum"" Walaikumussalam" Sahur para warga serentak. Tiba-tiba Syahrir keluar dari dalam rumah menghampiriku dengan raut wajah sedih, hampir menangis." Hei Syahrir! Bagaimana kabarmu?" Raut wajahnya tetap seperti semula, seperti tidak antusias melihat kedatanganku." Sabar lan!" Ujarnya menepuk bahuku." Ada apa memang?"" Ibumu telah tiada lan," seketika tubuhku lemas, aku berlari menghampiri ibu di dalam.Benar saja, ibu terbaring di atas kain dengan dibalut kafan di sekujur tubuhnya." Amak ! " Tangisku pecah." Bangun mak! Lihat anakmu sudah pulang."" Mengapa begitu cepat kau tinggalkan aku mak."" Sudah Dahlan! Sudah! Jangan kau tangisi kepergianmu, itu hanya akan memberatkannya. Ikhlaskan dan doakan yang terbaik saja untuknya." Ujar paman Idris berusaha menenangkanku. Ia melanjutkan," Lihat wajahnya, ia masih begitu cantik. Ia tersenyum, itu bertanda Allah menyanyanginya."Arumnia dengan seorang anak perempuan di pangkuannya, Syahrir, Siharina, bahkan Syahrizal berada di dalam rumahku, sementara para warga sekitar berada di luar rumah untuk. Sebagia menyiapkan kranda untuk pembumian amakku.


" Maafkan aku yang belum mampu utnuk mewujudkan keinginanmu mak, maafkan aku yang belum bisa menepati janji-janjiku kepadamu. Aku terlalu sibuk dengan ambisiku sehingga lupa padamu yang telah membuatku berada pada posisi sekarang ini, durhaka aku padamu mak. Maafkan aku ! "Rasa haru dan penyesalan mengiringi perjalanan kranda ibu menuju makam desa.


" Sabar ya Dahlan ! " Ucap Arum dengan anak kecil yang ternyata anaknya ketika proses pemakaman sembari menepuk bahuku.Seusai pemakaman, paman dan Siha mengajakku untuk kembali. Aku masih tidak percaya dengan kepergian ibu, begitu cepat." Sebenarnya apa yang telah terjadi kepada ibu paman? Siha? " Tanyaku kepada mereka ketika kami tiba di rumah." Siha, buatkan minum untuk uda mu." Perintah paman Idris kepada Siha.


***

" Biarku ceritakan kepadamu Dahlan."


Sudah hampir dua tahun ibumu mengidap penyakit meningitis. Awalnya, ibumu sering mengeluh pusing kepada Siha selama beberapa mingggu, namun ia menolak untuk dibawa priksa karena takut disuntik. Akhirnya Siha membelikan obat sakit kepala di warung. Obat itu bereaksi, namun tak lama akan kambuh lagi. Begitu seterusnya selama beberapa bulan terakhir.Karena tidak tega melihat ibumu kesakitan, aku dan Siha memaksanya untuk priksa ke Puskesmas. Ibumu mendapat beberapa bungkus obat untuk diminum sampai habis. Namun, begitu obatnya habis, rasa sakit kepala ibumu tidak kunjung sembuh. Untuk itu, kami memutuskan menyewa angkutan umum untuk pergi ke rumah sakit. Disitulah kami tahu bahwa ibumu mengidap meningitis, sudah dua taun terakhir. Itu berarti ia sering merasakan sakit kepala sudah hampir dua tahun.


Asda sendiri mengaku bahwa ia hanya mengira itu sakit kepalaa biasa, jika itu sering mungkin kaena hipertensi sehingga ia tidak bercerita kepada kami. Begitu kami mengetahui penyakitnya, sebenrnya aku ingin memberitahumu, namun ibumu melarang. Katanya, ia tidak mau menganggu anaknya yang sedang menempuh pendidikan, ia takut merusak fokusmu. Aku dan Siha menurutinya, akan tetapi yang perlu diketahui adalah penyakit ini masih sulit disembuhkan. Kami mendapat saran untuk merawatnya keluar negeri. Jujur saja kami bilang tidak mampu, akhirnya dokter rumah ssakit memberikan obat penahan rasa sakit saja.Semakin hari tubuhnya semakin kurus, wajahnya pucat, dan tubunya begitu lemah. Isa sudah sangat jarang ke pasar, aku suruh Siha untuk merawat Asda dan aku yang memegang warung di pasar.


Minggu-minggu terakhir bulan ini ia selalu meraung kesakitan, puncaknya ketika Siha menelfonmu untuk segera pulang. Kakinya sudah tidak mampu lagi untuk menopang tubuhnya. Namun, kata Siha kau baru bisa pulang pekan depanpaling cepat. Aku tidak menyangka bahwa penyakit itu begitu keras dan cepat menyerang ibumu.


Semakin hari obat penahan rasa sakit sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit di kepalanya lagi. Pihak rumah sakit sudah angkat tangan, kami pasrah lalu membawanya pulang. Na'as, tadi malam ibumu meninggal. Teryata Tuhan mencabut penderitaanya dan mecabut rasa tidak tega yang berbulan-bulan menghinggapi kami karena melihat ibumu sakit.


Ikhlaskan, aku yakin ibumu mendapat tempat terbaik di sisiNya. Ia orang baik, aku bangga memiliki adik seperti dia dan kau harus bangga memiliki ibu seperti dia.


****

Mendengar cerita Paman Idris membuat aku tak kuasa menahan tangis. Begitu besar perjuangnnya selama ini, ibu sungguh mulia. Sungguh sangat pantas surga menjadi tempatnya.

Anak-anak Pelangi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang