semut dan sebatang pohon

226 41 6
                                    

Seperti yang dikatakan Mark, aku bertugas mencatat beberapa nama anak yang menderita penyakit kurang gizi, dan Mark melakukan tugasnya dengan baik, sedangkan aku hanya berusaha semampu yang aku bisa.

Pemeriksaan kesehatan berlanjut hingga siang hari dan menjelang sore. Hingga akhirnya aku merasakan kelelahan yang amat sangat.

Angin sore berhembus lembut menerbangkan lembar-lembar rambutku yang basah karena keringat, aku mengusap keningku yang basah, catatan yang ada di tanganku kumasukkan kembali dalam kotak kecil milik Mark. Dan mataku hanya menatap Mark yang masih betah duduk di bangku kayunya. Dia tersenyum tipis ketika melihatku berubah menjadi pucat.

“Kerja yang bagus hari ini” ujarnya menepuk punggungku.

Dia tampak terlihat professional dan aku hanyalah asisten amatiran.

“Kau ingin jalan-jalan sore? Kita harus menikmati pemandangan tempat ini sebelum kembali ke kota” ujarnya sekali lagi.

“Tidak…. Aku tidak mau, aku butuh istirahat” jelasku tidak menatapnya.
Mark menyentuh tanganku, membuatku sedikit terkejut, mengubah angin sore menjadi terasa aneh, tapi hanya sesaat dan dia melepaskannya dengan cepat.

“Ada tempat yang indah didekat sungai, aku yakin kau akan suka” tambahnya.

Kugerakkan tanganku yang masih terasa kaku, bekas tangan Mark masih terasa disana, dan secara mendadak, aku takut menatap matanya.

“Baiklah, tapi aku tak ingin lama” jawabku.

Kami berjalan berdampingan, menjauh dari posko kesehatan yang mulai sepi, menyusuri jalan-jalan setapak yang kecil, semakin jauh dari perumahan warga, dan jalanan semakin terlihat jauh tanpa ujung.

“Aku minta maaf tentang kejadian semalam” ujarnya tiba-tiba.

Aku menoleh padanya, bingung. Terlalu banyak kata maaf yang terdengar antara aku dan Mark semenjak kedekatan ini terjalin “Maaf?”

Dia menunduk, dan kami masih berjalan dengan dialog-dialog yang rasanya akan terdengar panjang “Semalam, saat kau tidur, aku memelukmu dalam kondisi sadar”

Kakiku menghentikan langkahnya, otakku bekerja lebih keras dibanding biasanya, dan Mark tanpa sadar terus berjalan meninggalkanku setengah meter didepan.

“APA?” tanyaku tidak percaya.

Suaranya masih terdengar jelas di sisi telingaku “Aku bingung harus melakukan apa, suaramu membuatku tak bisa tidur, kau terdengar sangat kedinginan, tubuhmu menggigil dan kau mengatakan banyak hal yang tidak aku mengerti, kau memanggil ibu-mu, ayah-mu dan aku menegurmu tapi kau tidak sadar aku sedang berbicara padamu. Aku panik, lalu…. Maaf kalau aku memelukmu!” ujarnya panjang.

Aku mengikuti langkahnya yang berada beberapa langkah di depanku tanpa menatapnya “Yang aku ingat, kau sudah memberikanku selimut tebalmu, setelah itu…… setelah itu, aku hanya merasa hangat. Kau benar-benar memelukku?” tanyaku dengan suara yang masih tidak percaya.

“Maaf kalau aku melakukan hal seperti itu tanpa sepengatahuanmu, aku hanya berpikir harus melakukannya untuk mengurangi rasa dinginmu. Lain kali aku akan meminta izin dulu sebelum melakukannya”

Suara aliran sungai terdengar samar, tapi otakku masih bekerja sangat keras. Langkah kaki Mark tidak mengisyaratkan bahwa dia akan menungguku atau setidaknya menyuruhku untuk mempercepat langkahku agar langkah kami kembali senada. Tapi dia justru menjadikan langkahnya terdengar semakin cepat.

Ekpresiku mulai terlihat aneh, tidak ada tanda aku akan marah, efek kelelahan bekerja seharian dan tanpa alasan aku memang tak ingin marah, yang jelas adalah aku tak ingat apa-apa dan Mark berusaha untuk menjelaskan kejadian semalam. Hal yang menurutku wajar saja, dia adalah seorang dokter, sesuatu yang masuk akal jika dia sensitive dengan orang sakit.

(VERSI 2) Short Story✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang