June

234 36 7
                                    

Seminggu berlalu, aku mendapat telepon dari ayah ketika rombonganku kembali pulang ke kota, meninggalkan jejak-jejak kaki di tanah berlumpur ini, meninggalkan dinginnya sore dan angin malam yang berhembus pelan, menciptakan jarak antara aku dan gemerisiknya sungai yang sepertinya akan aku rindukan.

Nyonya Choi menangis memelukku bersama suaminya juga bayinya, mereka mengantarku hingga ke ujung jalan, katanya, mereka tak sabar akan menantiku kembali ke tempat ini, kembali mengusik mereka, kembali mencari keributan di makan malam mereka juga cerita-cerita tengah malam pengantar tidur kami.

Catatan-catatan kecil milikku yang aku gunakan untuk mencatat diagnosa penyakit kuserahkan pada Mark yang masih bekerja di tempat ini. Aku dan semua rekan kerjaku ditarik lebih cepat dibandingkan dengan tim dokter yang masih bekerja mengobati pasien mereka.

Mark bilang ingin bicara banyak setelah tiba di kota, dan aku yang pulang lebih dulu akan menunggunya 1 minggu lagi. Juga banyak yang ingin aku tanyakan padanya.

Ayah dan ibu keluar kota ketika aku tiba di rumah, ini adalah yang pertama kalinya mereka meninggalkanku, katanya mereka ingin bertemu dengan sahabat ayah yang baru pulang dari Jerman, setelah kembali nanti mereka akan membawa sahabat ayah ikut bersamanya, dan aku disuruh tinggal di rumah selama 2 bulan untuk menemani mereka liburan. Jika itu terjadi, maka ini akan menjadi yang pertama kalinya.

3 hari berlalu semenjak kepulanganku, sesuai pesan ayah, aku tak meninggalkan rumah, aku hanya pulang ke apartementku untuk mengambil beberapa pakaianku dan pulang lagi. Malam ini mereka akan kembali setelah beberapa hari pergi dan akan membawa tamu yang luar biasa istimewa. Sesuai yang ibu katakan, malam ini aku memasak banyak, karena mereka akan tiba tepat makan malam keluarga akan dimulai.

Bel berbunyi, mereka tiba dengan cepat. Aku melangkah mendekati pintu, membukanya pelan dan cepat memeluk ayah juga ibuku, lama tak berjumpa dengan mereka.

Ayah memperkenalkanku dengan orang yang katanya adalah sahabatnya juga seorang pria yang seumuran denganku yang tidak lain adalah anaknya. Katanya kami akan melanjutkan percakapan panjang di meja makan.

“Oohh Rose.. my dear, kau sudah dewasa rupanya” kata sahabat ayahku, seperti sudah mengenalku.

Aku mengangguk, menatap ayah juga ibu yang hanya memperlihatkan senyum hangat.

“Kau tidak ingat paman Willi?” Tanya ayahku memastikan ekspresiku yang tidak mengingat kedua orang ini dengan jelas.

“Dia yang pernah mengajarimu bermain biola bersama June” tambah ibuku.

Yah, aku ingat nama itu, June, nama yang selalu disebut-sebut ibu ketika aku masuk sekolah menengah pertama, aku melihat koleksi foto kecilku dan disana selalu ada June, yang aku tahu, aku tidak terlalu ingat masa kecilku ketika aku di taman kanak-kanak hingga sekolah dasar, tapi si anak kecil bernama June yang sekarang berubah menjadi pria dewasa di depanku justru pernah menjadi bagian dari kenangan masa kecilku yang tak kuingat sama sekali.

Dan soal biola, aku bahkan tidak tahu pernah memainkan alat musik itu.

Cerita yang panjang berlanjut ke ruang keluarga, sekarang ibu membawa setumpuk album masa kecilku bersama June, dan dari banyaknya foto yang terselip dalam album kolot itu, tak satupun yang bisa aku ingat dengan jelas.

“Ini adalah fotomu dengan June, saat kalian juara lomba festifal music tingkat sekolah dasar” jelas ibu, memperlihatkan foto masa kecilku dengan June yang sedang memainkan biola klasik.

“Kau pasti semakin pintar bermain biola, aku ingin mendengarnya!” ujar paman Willi bersemangat.

Aku hanya memandang ayah dan ibuku “Maaf.. paman Willi, aku bahkan tidak tahu pernah punya bakat yang seperti itu”

(VERSI 2) Short Story✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang