Track 04

104 16 8
                                    

Now feel it : Grow Old Die Young.🎶

Let’s grow old and die young
We ain’t done the best is yet to come

Hari ketiga dalam seminggu, ya ini hari Rabu. Hari yang masih melelahkan---sebenarnya dia lelah setiap hari---bagi sang bocah karena semalaman bermain game online hingga bangun kesiangan. Kenyataannya dia memang tidak punya niat pergi ke sekolah, baginya tempat menimba ilmu itu adalah sebuah neraka yang harus-harus dihindari dibandingkan menemui para makhluk buruk yang kelakuannya lebih jahat daripada setan (catat : teman sekolahnya).

Dengan santainya tanpa beban, kedua kakinya melangkah perlahan menuruni anak tangga dari kamarnya menuju dapur yang letaknya di lantai satu rumah.

Sesampainya di dapur, dilihatnya seorang lelaki dewasa tengah mengaduki kopi panas dalam cangkir agar segera larut. Asap putih nampak meluap keluar dari sela-sela cangkir itu. Baunya mulai merangsang indera penciuman.

Bocah itu tidak tahan lalu segera mendekat untuk meminta dibuatkan segelas susu karena kebetulan dia juga kehausan, tak lama kemudian mereka pun duduk bersama di ruang makan. Sang ayah nampaknya sama sekali tidak terganggu dengan bocah SMP-nya yang bolos ini hingga keheningan pun mulai tercipta. Menit demi menit berlalu hingga akhirnya tiba-tiba bocah itu terpikir sesuatu.

"Pa, apa dulu aku pengen banget jadi vokalis, ya?" tanya si bocah di sela-sela minum susunya pada lelaki dewasa di sebelahnya yang pandangannya masih jatuh pada kertas besar nan lebar berisikan tulisan-tulisan kecil berwarna hitam dan memberitakan tentang kejadian di belahan dunia. Yap, benda itu adalah koran.

Seketika lelaki dewasa berwajah datar itu memasang senyum ringan lalu menatap lekat putera mungilnya yang lucu, "Kok tumben Taka mau bahas ini?"

Kedua lengan besar nan kokohnya dengan cepat menutup koran yang baru saja ingin dibacanya, rasanya putera kecilnya ini jauh lebih menarik untuk didengarkan daripada memilih membaca sebuah kertas rumit yang mampu membuat sakit kepala sedangkan si bocah mungil itu malah menaruh cangkir yang isinya baru saja diminum sedikit ke atas meja dan menyisakan seperempat air susu sarapan paginya itu.

"Gapapa pa, mau nanya aja. Nggak boleh, kah?"

Lelaki dewasa bersurai blonde klimis dan bermata tajam bak elang itu kemudian menyipitkan pandangannya lantas mengangkat lengan kirinya tinggi-tinggi tepat di hadapan sang bocah membuat bocah itu refleks menutup mata mempersiapkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi.

Namun semua di luar dugaan, lelaki dewasa itu bukannya melakukan hal yang menyeramkan namun justru mengusap-usapi surai hitam lembut puteranya layaknya ayah yang bijaksana, bahkan kenyataan bahwa dia sempat menyipitkan pandangan dilanjutkan dengan senyuman lega penuh haru, "Syukurlah, Taka, syukurlah."

Bocah itu tersentak, bingung harus melakukan apa sekarang. Tingkah laku lelaki di hadapannya ini benar-benar sukar ditebak, mungkin hanya si pemilik tubuh dan Tuhan saja yang tahu apa yang ada di pikiran papanya. Ibunya saja sudah menyerah untuk menebak kepribadian ayahnya, yang jelas lelaki dewasa itu bijaksana, bertanggung jawab, dan dapat diandalkan. Itu saja sudah cukup untuk melengkapi kriteria sebagai ayah yang baik bagi keluarga, lalu apa lagi yang harus diragukan dari seorang Toru Yamashita? Tidak ada.

Oh ayolah, Taka!

Monolognya meronta berusaha meyakinkan diri untuk lebih memercayai Toru.

"Kamu tuh pengen banget jadi vokalis, nak, itu cita-citamu," ujar Toru kemudian. "Papa ingat saat Taka gak pernah bosen pergi ke karaoke dan menguasai microphone sendirian hanya untukmu sedang kami berdua disuruh menilai penampilanmu juga waktu kamu menggebu-gebu dalam kontes menyanyi---"

"Tapi kalah, kan?" Anak lelaki itu tiba-tiba menyela seenaknya ucapan lelaki dewasa di sebelahnya sembari bersedekap dan memicingkan pupilnya tajam.

Toru mengatubkan bibirnya kemudian, menarik ujung alisnya sembari menatap puteranya keheranan, "Taka, mau kamu apa sebenernya?"

"Pa, kenapa aku gak bisa jadi vokalis sih? Kenapa suaraku jelek? Kenapa aku kalah terus? Kenapa? Kenapa?"

"Nak," panggil sang papa.

"Kenapa, pa? Kenapa?!"

"Nak," ulangnya.

"Dunia ini gak adil buat Taka!"

"Nak!"

"Taka nggak berguna, pa. aku cuma mengecewakan kalian."

Brak!

Bocah itu mengerjapkan matanya beberapa kali lalu termundur sedikit, gelas susunya sedikit terjungkal dan menumpahkan isinya ke meja. Kini bocah itu melirik ayahnya yang wajahnya tengah kemerahan seperti menahan emosi yang mendalam.

"Taka, berhenti berkata seperti itu! Papa gak suka!" teriak Toru tegas, andai kata-katanya kasar maka orang lain pasti menduga bahwa lelaki dewasa itu tengah membentak anaknya namun kenyataannya dia hanya ingin mengutarakan isi hatinya karena tidak suka kalau putera kebanggaannya menganggap enteng kehidupan.

"Dengar, nak, kamu selalu membanggakan kami. Jika kami memang gak menginginkanmu sebagai anak, maka kami gak akan pernah menghadirkanmu ke dunia ini. Kamu adalah hadiah terbaik buat papa, buat mamamu. Ya buat kami, kedua orang tuamu."

Tiba-tiba dada Taka bergemuruh, hatinya menahan keperihan yang mendalam usai mendengar ucapan dari papanya barusan. Dia merasa menyesal sudah menyia-nyiakan karunia Tuhan dengan terus-menerus mengurung diri di kamar, merasa hidup sudah tidak memiliki arti padahal orang tuanya selalu menganggap dia yang paling berarti. Tidak pernah mensyukuri apapun nikmat dari-Nya, padahal memiliki orang tua seperti Toru dan Meiko adalah anugerah terindah.

Sesak. Perih. Sakit.

Aku bodoh. Apa yang namanya jenius kalo sebenernya aku begini?

Lelaki dewasa bersurai blonde itu tampak menyadari kekalutan pikiran darah dagingnya, dengan cepat dia segera mendekat lalu mendekap erat bocah yang gestur tubuhnya hanya setengah darinya itu, mungil dan lucu.

"Taka, papa menyayangimu. Sangat menyayangimu. Papa menyayangimu lebih dari apapun, nak."

Tanpa sadar, air mata Taka luruh. Luruh sejadi-jadinya dalam pelukan ringan nan hangat dari papanya itu. Bulir demi bulir yang menetes itu kemudian membanjiri kaos hitam papanya disertai isak tangis pedih yang menyakitkan.

"Setidaknya jika semua orang di dunia ini membencimu, percayalah kami selalu menyayangimu. Kami berjanji akan selalu ada untukmu, sayang."

Tiba-tiba sebuah kilas balik alur kisah lama muncul dalam ingatan Toru, sebuah pelajaran hidup betapa pentingnya figur orang tua di dalam hidup seorang anak. Kala dia mengingat salah seorang sahabatnya yang membenci pernikahan dan memengaruhi seluruh hidupnya hingga di akhir hayatnya meregang nyawa. Sebuah keluarga yang hancur alias broken home akan memengaruhi bahkan menghancurkan psikologis seorang anak, anak selalu butuh tempat bernaung yang penuh kasih sayang dan harmonis sebagai rumahnya kembali.

Toru berjanji hal buruk itu tidak akan pernah menimpa Taka Yamashita, putera semata wayangnya yang sangat berharga.

"Nak, mau dengar sebuah cerita?"

"Cerita?"

"Ya, cerita tentang perjalanan sebuah band rock Jepang yang pernah mendunia, hingga saat mereka bubar nama mereka selalu dikenang."

"Eh? Band apa tuh, pa?"

"Apapun nama band itu, bukan itu intisarinya, nak. Yang ingin papa ceritakan adalah perjalanan mereka dan ambillah sisi positifnya. Mereka gak langsung berhasil, semua butuh proses dan kerja keras. Jadi jika Taka bertekad ingin jadi vokalis, kamu gak boleh menyerah. Kamu harus tumbuh jadi seorang yang hebat, nak."

Demikianlah titah sang papa di hari itu dan membuat Taka mulai menyesali sesuatu. Sesuatu yang nampaknya berharga, namun dia telah membuangnya.

Sebelum bercerita panjang lebar, Toru menyisipkan kalimat pembuka pertanyaan membunuh yang membuat Taka termangu di tempat.

"Tapi janji ya, mulai besok kamu harus berangkat ke sekolah. Oke?"

-Tbc.

SAE 2 - Head High✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang