Sepanjang pelajaran terakhir tadi konsentrasi Rhena sangat tidak menentu, banyak sekali yang mengganggu pikirannya. Factor utamanya hanyalah satu nama, Nathan.
Rhena tidak menyesal pindah kesekolah ini karena tujuan utamanya ialah menjauhkan dirinya dari mantan pacarnya tapi yang membuat ia menjadi murung seperti sekarang adalah orang yang menjadi alasan Rhena memilih sekolah ini.
Rhena menghela nafas panjang, bel pulang sekolah sudah berbunyi lima belas menit yang lalu. Jika bukan karena ia dijemput supir mungkin Rhena akan pulang agak sore dan melakukan kesalahan lagi, ketinggalan angkot.
Setelah bergulat dengna fikiranya dan kasihan jika harus membuat pak supirnya menunggu lama ia memutuskan untuk turun dan pulang. Semoga saja ia tidak bertemu apa yang dapat mematahkan semangatnya untuk kedua kalinya.
Rhena bangkit merapikan baju serta ikat rambutnya yang sedikit berantakan. Setelah dirasa rapi rhena meraih tas merahnya kemudian menggendongnya lalu berjalan keluar kelas. Ia berjalan lurus tak memperdulikan apa yang ada disekitarnya.
Hingga suara berat yang sangat ia kenali menginterupsi telinga Rhena.
“Hei.”
Tunggu, suara itu memang jarang terdengar tapi Rhena sangat mengenali suara itu. Pelan-pelan Rhena mengok kebelakang takutnya bukan manusia yang menapak yang memanggilnya.
Matanya membelalak terkejut, hampir saja rasanya mata itu ingin keluar. Bukan orang yang tidak menapak melainkan manusia betul yang sedang ada dihadapannya kali ini.
“Sena?!”
Sena masih setia dengan posisinya duduk dengan satu kaki yang diangkat tas yang sampirkan disatu pundaknya. Terlihat keren dengan rambut yang sedikit berantakan.
Tunggu Rhena berfikir apa tadi, Sena keren? Memang tapi sikapnya itu yang membuat kepala ingin pecah.
“Lo nungguin gue?” Tanya Rhena bingung pasalnya untuk apa Sena masih disekolah saat ini, bahkan dia biasanya sudah tidak ada sejak istirahat pertama.
Sena malas menjawab pertanyaan Rhena sudah tau masih nanya.
“Tugas kelompok.” Jawab Sena.
Rhena terdiam berfikir sebentar, emangnya Sena kalau bicara harus sepotong-sepotong membuat lawan bicaranya harus berfikir.
“Oh tugas dari pak Broto ya?” Tanya Rhena memastikan.
Sena hanya berdehem sebagai jawaban. Menyebalkan.
“Jadi lo mau apa?”
“Gue Cuma mau bertanggung jawab, mau gue apa lo yang ngerjain?” Ucap Sena.
Sumpah demi apapun ini adalah kalimat terpanjang yang diucapkan Sena setau Rhena.
“Nggak nggak bisa ancur tuh tugas kalo lo yang ngerjain, kita berdua aja yang ngerjain.” Protes tegas Rhena.
“Cih, dasar modus.” Gumam Sena pelan.
“Apa lo bilang?” Sinis Rhena.
Sena hanya mengendikan bahunya acuh seolah tak terganggu dengan sinisan yang diberikan Rhena.
“Dasar gila, sekalinya ngomong mengeselin.” Kesal Rhena melangkahkan kakinya pergi dari harapan Sena.
“Lo pergi gue bakal lapor ke guru kalo lo nggak mau kerja.”
Sial.
“Iya-iya, kerjain dimana?” Tanya Rhena.
“Rumah lo.” Jawab Sena kembali singkat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rhe(na)than
Teen Fiction"Dan kenapa lo tolongin gue waktu itu, kenapa nggak biarin gue mati aja?"-Rhena. "Rhe, tolong ngertiin posisi gue."-Nathan. "Apa Nath apa? Lo mau bilang kalo lo nolongin gue karena kasihan iya Nath?"-Rhena. "Nggak git-" "Udahlah Nath basi tau nggak...