"Any way the wind blows..."
***
HenryAkan kuceritakan satu malam terbaik yang pernah terjadi di dalam hidupku.
Aku masih ingat betul bagaimana indahnya malam itu. Sepertinya aku akan rela membunuh demi bisa merasakan malam itu lagi. Semuanya terasa begitu lengkap. Sempurna. Begitu banyak hal yang kusukai terjadi bersamaan di malam itu.
Satu, melihat Kanaya—wanita tidak beruntung yang sepertinya ditakdirkan menjadi belahan jiwaku—tengah menyantap makan malamnya dengan begitu lahap. Aku suka wanita yang makan dengan lahap. Bukannya hanya makan semangkuk kecil selada seperti seekor kambing kelaparan. Wanita yang makan dengan lahap dan bisa menghargai makanannya adalah wanita yang sangat seksi di mataku.
Dua, melihat Kanaya—wanita paling penyabar di dunia ini karena berhasil bertahan denganku sampai sejauh ini tanpa banyak mengeluh—yang semakin hari terlihat semakin cantik dan berisi. Iya, Naya hamil. Dan tidak, dia belum memberitahuku kabar bahagia ini. Entah sampai kapan dia mau merahasiakannya dariku. Dia kira dia bisa membodohiku sampai dia lupa jika aku sudah terlalu mengenali dirinya seperti dia mengenali dirinya sendiri. Tapi tidak apa-apa. Aku senang Naya mengandung anak kami. For God sake, aku akan menjadi seorang ayah!!
Tiga, melihat Kanaya dan semua hal yang kusukai darinya diitambah lagi dengan lagu yang diputar di café ini. Bohemian Rhapsody! Siapapun yang memutar lagu itu, aku berdoa untuknya agar diberikan hidup yang nyaman dan umur yang panjang.
Kanaya, calon buah hatiku di dalam kandungan Kanaya, dan Queen.
Tidak ada yang sesempurna malam ini.
“Woy! Cengo bego daritadi. Kesambet mampus.” Oh iya, Naya juga suka membuyarkan lamunan indahku. Dan aku menyukainya.
Setelah berhasil menganggu kesenanganku, dia kembali menyeruput ramen ke dalam mulutnya. Membiarkanku menatapnya tajam, melihat bagaimana bibirnya mengerucut lucu seperti itu. Ramen selalu menjadi kesukaannya dan bibirnya yang mengerucut itu selalu menjadi kesukaanku. Simbiosis mutualisme kurasa. “Woy anjir ya. Ayam tetangga mati woy kebanyakan bengong. Kalau lo mati nanti yang nganter jemput gw siapa dong,”
Ingin sekali kujitak kepalanya.
“Sekali-kali Nay. Toh juga kapan lagi lo bisa diliatin kayak gitu selain sama gue. Orang lain mah keburu kabur duluan begitu sadar lo sebelas dua belas sama Ghost.”
“Ghost putih cantik. Gue juga putih cantik. Makasih loh,”
Naya sepertinya rela kusamakan dengan Ghost. Buktinya dia tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya kemudian lanjut menikmati ramennya lagi. Aku pun sama, kembali menyantap ramenku yang masih mengebul hangat. Aku dan Naya memang jarang berbicara ketika makan. 10% karena tata krama, 90% karena makanan terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja jadi makan dulu baru melakukan hal lain seperti mengobrol.
Selesai dengan makan malam ramen, aku sebenarnya sudah akan mengajak Naya pulang. Wajahnya terlihat sedikit kemerahan dan hatiku yang lemah pun mendadak was-was. Gengsi dikira over-protective, aku pun beralasan sedang tak mood berjalan-jalan. Dasar Naya yang tidak mau peka, dia malah melongos dan berlalu begitu saja menuju ke Sephora—istana bagi kaum wanita yang berarti juga neraka jahanam bagi kami kaum pria. Daripada Sephora kan pasti aku lebih doyan kalau diajak masuk La Senza. Dengan senang hati aku pasti bantu memilih mana lingerie yang kira-kira lucu dikenakan Naya.
“Say, mending yang mana?” Naya mencolek lenganku seraya menunjukkan pergelangan tangannya yang sudah dia poleskan tiga warna yang menurutku tidak ada bedanya. Keningku sampai berkerut-kerut mencari perbedaan dari ketiga warna itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbiological Sisters Wedding Diaries
ChickLitAlecia Nando dan Daphnee. Seharusnya mereka sudah cukup. Lalu apa lagi yang kucari? Diandra Sesulit itukah melepaskanmu Harris? Kanaya Apa aku sudah cukup baik untukmu Henry? Atau aku telah mengacaukan segalanya? Gloria Mungkin dia bisa memberika...