"Nights like this leads to love like ours"
Joseph
Ini masih sangat pagi dan sisi kiri tempat tidur kami sudah rapi. Lagi-lagi Glo tidak ada disana kala aku bangun, tidak seperti janji yang pernah dia ucapkan di awal pernikahan kami jika dia akan selalu ada disana ketika aku menutup hariku serta memulai hariku kembali. Sudah hampir sebulan ini Glo selalu bangun sangat awal dan saat aku selesai bersiap-siap dia sudah menghilang ke tempat gym dengan sarapan hangat yang sudah disediakan di meja makan. Dia memang tidak pernah absen membuatkanku sarapan. Dia juga masih mempersiapkan kemeja serta dasi apa yang akan kukenakan bekerja.
Seperti pagi ini, Glo membuat sandwich tuna jagung favoritku dengan secangkir kopi hitam yang masih hangat. Koran pagi ini juga diletakkan di samping sarapan pagiku. Hari ini Glo memilihkan kemeja biru gelap yang dia padukan dengan dasi berwarna abu-abu dengan corak garis hitam miring.
Glo memang seperti itu. Tidak pernah seharipun dia melewatkan kewajiban melayani suaminya dengan baik. Tidak pernah seharipun dia membiarkan aku melewatkan sarapan pagi dan harus bekerja dengan mengenakan setelan kemeja yang warnanya bertabrakan dengan dasi yang kukenakan. Glo melakukan semuanya dengan baik. Hanya saja Glo juga berhasil membuat kekosongan di hatiku semakin membesar dan mendalam dari hari ke hari.
Glo membuatku mati rasa.
***
Aku tidak ingin menyakiti hatinya namun kurasa ini harus segera kuselesaikan. Suasana hati Glo mungkin membaik karena menghindariku sementara aku mungkin bisa gila sebentar lagi.
Pulang dari rumah sakit, arloji di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sampai di rumah aku menemukan Glo tengah membaca buku karya Michael Connelly yang berjudul The Wrong Side of Goodbye. Dengan ekpresi seriusnya, Glo bahkan tidak terganggu dengan kehadiranku. “Jangan terlalu deket bacanya. Mata kamu nanti minus,”
“Eh kamu udah pulang!” Glo menyapaku riang. Matanya yang tadi serius mencerna isi bacaan sekarang berganti menatapku dengan penuh minat. Aku selalu menyukai kedua mata Glo. Bentuk mata almondnya yang dihiasi bulu mata super lentik. Kedua mata yang menurutku indah dan sempurna. “Mau makan?” tanyanya yang langsung kujawab dengan sebuah anggukan cepat. Glo tersenyum lebar memamerkan deretan giginya lalu buru-buru menghilang ke dapur. Walau tidak lapar, tidak mungkin aku menolak masakannya dan membuat mata indahnya meredup sedih.
Seraya melepas dasi dan melonggarkan kancing kemejaku, aku berjalan mengekori Glo ke dapur. Di depanku Glo sedang bergerak dengan begitu lincahnya lengkap dengan seragam wajibnya di dapur, celemek hello kitty berwarna merah muda. “Aku hari ini masak ayam asam manis, tumis jamur, sama pergedel. Kamu ambil nasi sana.” Laksana robot aku pun melaksanakan perintahnya, mengisi piring dengan nasi putih hangat lalu duduk manis menunggu di meja makan. Tidak berapa lama masakan pun dihidangkan dan aku melahapnya sampai habis. Glo terlihat senang melihatku makan selahap ini dan hatiku pun menghangat karena itu. Sesaat aku lupa pada rasa kesalku yang sudah menumpuk karena ditinggal setiap pagi oleh Glo.
“Glo, kamu jangan tidur dulu ya. Ada yang mau aku omongin,” ucapku bersamaan dengan suapan terakhir yang kutelan. “Boleh. Kebetulan ada yang mau aku omongin juga.”
Sebelum memulai pembicaraan kami, Glo membiarkanku membersihkan badan serta mengganti pakaian yang lebih nyaman. Dia selalu mengomeliku kebiasaanku yang betah memakai kemeja dari pagi sampai malam tanpa merasa gerah atau kotor. Sementara aku mandi, Glo pun sibuk membersihkan peralatan makan dan dapur.Kami memutuskan untuk berbicara di dalam kamar tidur. Kata Glo sekalian pillow talk. Aku membiarkan Glo untuk memulai pertama. Glo menatapku selama beberapa detik kemudian dari belakang tubuhnya dia mengeluarkan berlembar-lembar brosur berwarna pastel. Melihat sekilas brosurnya saja aku sudah tahu akan dibawa kemana pembicaraan ini. “Tidak ada salahnya kita coba cara ini,”
Aku menerima brosur-brosur itu di tanganku, menatapnya bergantian dengan kedua mata almond Glo. Semua brosur ini berasal dari rumah sakit yang berbeda-beda, mulai dari yang milik swasta sampai milik pemerintah. Walau berbeda rumah sakit, semua topik yang dijelaskan di brosur ini hanya seputar masalah program kehamilan inseminasi, baik itu permasalahannya, prosedurnya, sampai pada rincian biayanya. “Mereka bilang cara ini mungkin berhasil,”
Aku tahu Glo tidak akan sanggup menjelaskannya secara langsung. Dia berharap aku mengerti apa maksud dan kemauannya hanya dengan semua brosur yang sudah hampir kuremas ini. Sekarang kedua matanya pun sudah berkaca-kaca, membuat rasa pusing di kepalaku semakin bertambah. Kurasa aku tidak bisa berada di dalam ruangan yang sama dengan Glo jika ingin berpikiran jernih. Dengan berat aku pun meminta untuk berpikir sendirian di luar, meninggalkan Glo yang air matanya mulai berjatuhan satu per satu.
***
Satu jam telah berlalu dan aku kembali ke dalam kamar tidur dengan berlembar-lembar brosur yang sudah remuk dan sebuah keputusan yang mantap. Glo ternyata belum tidur. Mata almondnya memerah dengan bekas tangisan di sekitar mata indahnya. Hidungnya pun turut memerah tapi dia masih menyambut kedatanganku dengan sebuah senyuman cantik di bibirnya. Yang mengejutkan, tidak hanya dengan senyuman dia juga menyambutku dengan sebuah pelukan yang sudah kurindukan selama sebulan terakhir.
Selain matanya yang indah, aku selalu suka ketika Glo memelukku. Tinggi Glo tidak lebih tinggi dari bahuku. Tubuhnya pun tidak terlalu besar namun juga tidak mungil. Ketika memeluknya, kedua lenganku dapat melingkari tubuhnya dengan erat. Karena Glo tidak terlalu tinggi, setiap kali memeluknya daguku pun bisa menumpang di puncak kepalanya.
Dengan berpikir sendiri dan ditambah sebuah pelukan hangat benar-benar membuat suasana hatiku pelan-pelan membaik. “Pertama, aku mau kamu tetep ada di samping aku pas aku bangun. Aku mau kita bisa sarapan bareng tiap pagi. Bukannya bangun sendirian, sarapan sendirian, berangkat sendirian.” Yang kuucapkan mungkin terdengar kekanakan untuk pria dewasa seumuranku dan terberkatilah aku karena diberikan istri sesabar Glo yang langsung mengiyakan walau Glo terlihat menahan tawanya saat menyetujui permintaanku.
Glo akhirnya pun menjelaskan jika tujuannya mendadak rajin ke tempat gym setiap pagi adalah dia masuk ke klub ibu-ibu di kompleks yang berlatih yoga dan zumba setiap pagi. Saat aku protes kenapa harus sepagi itu, gantian Glo yang mendumal. “Bapak-bapak di kompleks tuh kantoran rata-rata jadi jam 7 udah berangkat. Kamu kan dokter, prakteknya sore lagi ya seenak udel kamu dong berangkat jam berapa. Jadi kumpulnya jam 8 ga kepagian tau, Josh.”
Mungkin memang sepertinya aku harus bangun lebih pagi lagi. Atau jika perlu aku turut ikut dengan Glo dan para ibu-ibu kompleks untuk latihan yoga dan zumba. Selesai satu masalah, kini giliran satu lagi masalah yang menunggu untuk diselesaikan. Glo pun tampaknya sudah menunggu apa jawaban dari permintaannya. “Kedua, aku mau ikut program kehamilan inseminasi.” Ruang kamar tidur kami tidaklah luas. Tidak banyak juga barang-barang perabotan maupun peralatan elektronik di dalam kamar sehingga yang terdengar setelah aku menyelesaikan ucapanku hanyalah suara deru angin dari AC dan suara nafas Glo yang mendadak tertahan.
Aku yakin malam ini Glo adalah wanita paling bahagia di muka bumi, mungkin lebih bahagia dibandingkan saat aku melamarnya beberapa tahun lalu. Ekspresi wajahnya yang sumringah dengan mata berkaca-kaca begitu priceless bagiku. Aku mungkin rela memberikan apa saja yang aku punya, melakukan apapun yang aku bisa, hanya untuk melihat ekspresi itu lagi. Glo kemudian memelukku lagi, lebih erat dari biasanya. Kepalanya dia biarkan terselip diantara pelukanku. Tidak berhenti dia mengucapkan terima kasih padaku dan bilang dia mencintaiku. Dan aku, sebagai sebagai satu-satunya tempat Glo sekarang bersandar hanya membalas semua yang dia lakukan dengan sebuah pelukan dan mengelus penuh kasih sayang pada kepalanya.
Glo tidak perlu tahu bagaimana hebatnya perang di dalam batinku sebelum mengambil keputusan itu. Yang Glo perlukan sekarang adalah suami yang berada di sisinya untuk mendukung ketika seluruh dunia menentangnya. Glo tidak perlu tahu bagaimana aku melawan rasa egoku sendiri yang terkenal angkuh di masa muda. Yang Glo perlu tahu hanyalah dia memiliki aku, suaminya yang rela melakukan segalanya juga mencintai dia seutuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbiological Sisters Wedding Diaries
ChickLitAlecia Nando dan Daphnee. Seharusnya mereka sudah cukup. Lalu apa lagi yang kucari? Diandra Sesulit itukah melepaskanmu Harris? Kanaya Apa aku sudah cukup baik untukmu Henry? Atau aku telah mengacaukan segalanya? Gloria Mungkin dia bisa memberika...