06. Keputusan Ayah

59 13 1
                                    

Posisi duduk seperti ini rasanya hampir membuat Vira sesak nafas. Di depan sana, ada ayah dan ibu, lalu di sebelahnya masih ada si pemuda yang sedari tadi telah di sidang habis-habisan oleh ayahnya. Mereka berempat duduk saling berhadapan dengan meja tamu berukuran 110x110 cm yang menjadi pembatas di antara mereka. Lalu, di atas pangkuanya, jemari-jemari lentik milik gadis itu saling bertautan, sesekali ia meremasnya karena merasa gugup dan khawatir.

Sedikit mengumpulkan keberaniannya, gadis itu menoleh, mendangak menatap si pemuda —calon suaminya yang masih dalam masa percobaan— pemuda itu tampak tenang tidak menunjukan ekpresi berlebih —seperti dirinya. Posisi duduk pemuda itu juga cukup mengagumkan di matanya —tegap dan terlihat berwibawa. Padahal, ia tahu pemuda itu sejak tadi telah di hujani beberapa pertanyaan dari ayah yang menurutnya bisa membuat anak gadis sepertinya menangis tersedu-sedu —jika ia ada posisi si pemuda.

"Dalam waktu yang cukup lama pun, sulit bagi ku untuk membicarakan putri sulung ku. Dan sangat sulit rasa-nya mendengar kau berbicara tentangnya dalam nada suara mu itu, anak muda."

Jantung Vira nyaris melompat keluar ketika mendengar ucapan ayahnya —ucapan itu sangat tajam di segala sisi layaknya pedang bermata dua. Vira tak pernah tahu, ayahnya yang selalu lembut dan begitu menyayanginya bisa berkata setajam itu. Dan hari ini, Satu hal yang dapat di simpulkannya, seorang ayah akan terlihat tegas jika putrinya di lamar oleh seorang pria.

Apakah kelak Frand juga akan seperti itu?

"Nada suara saya lahir dari rasa hormat dan kesungguhan saya, pak." Ucap Frand santun.

Ayah terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan. "Aku percaya, ku hargai usaha mu untuk menikahi putri sulung ku, anak muda." Katanya seraya menatap Vira. "Sekarang, ku serahkan pada putri sulung ku, apakah kau bersedia menerima lamarannya?"

"A—ayah bertanya pada ku?" Susah payah gadis itu bertanya pada sang ayah seakan ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya.

Melihat putrinya agaknya sedang ketakutan, ayah tersenyum dan mengangguk pelan. "Ya, ayah bertanya pada mu, nak." Ucapan ayah terdengar melembut membuat kecemasan Vira berkurang —walau nyatanya kecemasan itu hanya berkurang satu persen dari total seratus persen.

Lagi, ia menatap Frand dan ibunya secara bergantian dan tatapan agak lama ia berikan pada ibunya, seakan meminta pendapat ibunya.

Di depan sana, dapat lihatnya dengan jelas bahwa ibu tersenyum dengan kepala mengangguk kecil —membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ibu merestui.

Semoga keputusan ku ini benar.

"Aku bersedia, ayah."

Frand menoleh menundukan kepalanya menatap gadis yang telah resmi menjadi calon istrinya. Wajahnya yang terlihat datar, kini tampak terkejut —pemuda itu tak menyangka, si gadis tanpa ragu menerima lamarannya di depan kedua orangtua gadis itu sendiri.

"Kau dengar, itu? Putri ku bersedia. Aku menagih janji mu: dalam waktu dua hari, aku menunggu mu membawa orangtua mu datang ke rumah ini." Kata Ayah dengan suara tegas namun mampu membuat hati Vira melega.

"Baik, pak. Saya akan membawa orangtua saya untuk melamar Vira." Jawab si pemuda mantap. Pemuda itu berdiri menghampiri ayah dan ibu dari calon istrinya. Setelahnya ia menyalimi tangan ayah dan ibu calon istrinya secara bergantian.

Belum selesai di buat terkejut oleh perkataan pemuda itu —Saya akan membawa orangtua saya untuk melamar Vira— Lagi-lagi pemuda itu membuatnya terkejut dengan perbuatan tak terduga pemuda itu.

Frand menyalimi tangan ayah dan ibunya —dan tak pernah sedikitpun ia membayangkan calon suaminya akan melakukan hal itu —menyalimi tangan ibu dan ayahnya— di detik selanjutnya, Frand memeluk ayah dan ibunya secara bergantian membuat ayah terkejut dan menatapnya.

Vira hanya mampu tersenyum, menyatukan kedua telapak tangannya seolah berkata : tolong maklumi dia ayah, dia belum begitu paham dengan adat kita.

Senyum Vira semakin mengembang tatkala melihat ibunya berjinjit membalas pelukan calon suaminya seraya menepuk-nepuk punggung lebar itu dengan penuh kasih sayang.

~00~

"Apa selalu merah seperti itu?" Vira bertanya dengan kedua tangannya yang terulur menarik lengan calon suaminya. Gadis itu meringis melihat begitu banyak bercak merah di sana —hanya satu buah singkong dan mampu membuat kulit putih pucat itu terlihat mengenaskan— Vira jadi merasa bersalah karenanya. "Harusnya tadi kau tidak usah memakannya!" Omel Vira.

Si pemuda tersenyum geli memperhatikan calon istrinya tengah serius membubuhkan obat pada kulit lengannya. "Tidak apa, sebentar lagi juga hilang."

Pergerakan gadis itu terhenti, netra kelamnya menantap tajam ke arah netra hazel cerah yang juga sedang menatapnya. "Sebentar lagi apanya?! Ini sudah 30 menit tapi belum hilang juga!" Serunya dan tak sengaja melihat bercak kemerahan yang mulai memenuhi dada dan leher pemuda itu. "Ah, lihat ini. Astaga! Leher mu juga merah!" Gadis itu memekik heboh membuat suasana di halaman belakang rumah gadis itu menjadi sedikit gaduh.

Di balik tirai jendela dapur yang tak jauh dari tempat pasangan itu berada, ibu dan ayah sedang memperhatikan mereka. Ibu tersenyum lembut seraya menggandeng lengan ayah.

"Selama ini kau selalu menolak pemuda yang datang melamar putri mu. Jadi, Kenapa kau merestuinya? Bukankah putri mu itu permata yang tak ternilai harganya?"

Ayah berdehem sejanak, netranya masih menatap lurus ke arah pasangan itu —anak perempuannya dan anak laki-lakinya, calon menantunya. "Aku hanya merasa dia pantas bersanding dengan putri kita."

"Bahkan setelah kau mendengar alasan jujur pemuda itu ingin menikahi putri mu?"

"Ya. Awalnya aku marah mendengar alasan itu. Tapi tutur katanya dan kesungguhannya membuat amarah ku hilang. Aku percaya padanya."

"Aish! Bisa-bisa orangtua mu menuntut ku kalau mereka tahu aku adalah pelaku utama yang membuat mu seperti ini, tuan August!"

"Ck, kau berlebihan, nyonya August."

"Nyo—hah? Apa kau bilang nyonya August? Kau pede sekali! Memangnya aku mau di panggil seperti itu?"

"Mau tidak mau, setelah menikah mereka akan memanggil mu begitu!"

"Oh ya Tuhan. Sejak kapan pemuda berwajah datar tanpa ekspresi ini bisa berubah menjadi pemuda agresif?"

"Aku tidak agresif, nyonya."

"Ck, bicara sekali lagi maka aku akan menendang mu keluar dari sini!"

"Baiklah, aku pulang saja sekarang."

"Stop! Kau mau kemana hah! Jangan pulang sebelum bercak kemerahan itu berkurang! Hei berani melangkah lagi, kita batal menikah!"

"Baiklah. Sampai jumpa!"

"FRAND AUGUST!! BERANINYA KAU!!"

Dan hari itu ayah dan ibu tertawa melihat tingkah kekanakan dua sejoli itu.

SEELENVERWANDTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang