04. Lamaran

86 15 15
                                        

"Baiklah, mari menikah"

.
.
.

"Barusan, kau melamarku?" Si gadis bertanya dengan raut wajah tak yakin dan tak lama kemudian anggukan kepala dari si kapten muda terlihat, cukup membuat keraguan si gadis sirna begitu saja. 

"Ya, itu lamaran." Jawab si pemuda.

Vira mengerjapkan matanya berulang kali. Hati kecilnya bertanya-tanya; Lamaran macam apa ini?

Jujur, itu adalah lamaran terkonyol yang pernah ada di muka bumi ini. Mengingat ia adalah gadis normal pecinta drama korea dan terkadang menginginkan lamaran yang sedikit —banyak—romantis —seperti di drama-drama Korea itu— Vira tidak menyangka ia akan di lamar dengan cara seperti ini; Tidak ada cincin, tidak ada alunan musik romantis, tidak ada makan malam romantis dan tidak ada bunga —benda paling basic yang seharusnya ada saat acara lamaran— atau minimal. "Vira, maukah kau menjadi pendamping hidup ku?" —bahkan kata sesederhana itu pun tidak di ucapkan oleh si pemuda. Hanya ada sebuah ruangan bernama restaurant daging, dengan pendingin ruangan seadanya. Lalu, jangan lupakan dua gelas es teh yang nyaris habis di hadapan mereka.

"Apakah kita sudah saling mengenal dekat, tuan August? Menikah tidak semudah membalikan lembaran buku, asal kau tahu."

Dan pemuda yang baru empat tahun menyandang sebagai seorang kapten pilot itu mengangguk paham. "Menikah juga tidak serumit membuat strategi perang, nona Vira. Kalau alasan mu karena kita tidak saling mengenal dengan baik, kita bisa melakukannya setelah menikah nanti."

Vira mendesah pelan. Gadis itu memberanikan dirinya menatap sang kapten muda —netra hitam kelam bertemu dengan netra hazel cerah. "Katakan satu alasan kuat mengapa aku harus menikahi mu, tuan August?"

Sang Kapten muda mengulas senyumnya. Begitu manis hingga membuat si gadis meringis meragukan keaslian usia pemuda itu.

Benarkah dia pemuda 24 tahun? —senyumnya mirip bayi—sangat polos.

"Karena kau secara tidak langsung telah berjanji hal tidak penting pada tetangga mu— kau akan menikah dalam waktu dekat dan calon suami mu adalah pilot. Kalau kau tidak lupa, nona."  Ada sedikit kalimat sindiran di dalamnya yang membuat Vira langsung menegakan tubuhnya.

Oh Tuhan! Benar! Bagaimana ia bisa melupakan hal sepenting itu. Lagi-lagi ia meringis lalu memasang tampang gengsi di hadapan pemuda itu. "Kau sungguh pemuda yang dermawan dan baik hati, tuan." Vira balas menyindir. "Apa hanya karena aku bercertia tentang permasalahan ku pada mu, lantas kau ingin berubah menjadi super hero untuk menolong ku?"

Masih mengulas senyum yang sama, plus membalas tatapan si gadis cantik yang sebentar lagi akan menjadi istrinya —kalau gadis itu setuju— si pemuda menjawab; "Untuk saat ini, hanya itu alasan yang tepat. Jika aku mengatakan aku menikahi mu karena aku mencintai mu, tentunya kau akan tahu, bukan? Itu hanya bualan." Ucapnya. "Dan lagi, aku orang yang bersih, nona."

Tanpa sadar, Vira mengangguk setuju. "Hem, kau benar." Kata Vira. "Aku setuju. Kau memang bukan orang jahat, tuan."

Si kapten muda kembali tersenyum. "Aku bisa mengatakan itu jika kita sudah terbiasa satu sama lain."

Sebelah alis si gadis terangkat merasa bingung dengan ucapan ambigu sang pemuda dan ketika ia hendak bertanya, beberapa waiter datang membawa makanan dan minuman pesanan mereka. Setelah pesanan mereka tersaji di atas meja dan para waiter itu menghilang dari hadapan mereka, Vira baru memahami makna dari perkataan ambigu sang pemuda. —mengatakan mencintainya kalau mereka sudah terbiasa.

"Sebenarnya, aku tidak keberatan. Kita bisa mencobanya—mungkin." Cicit Vira pelan.

Frand yang hendak meneguk kopi hitamnnya, menghentikan kegiataannya. Sejurus kemudian ia menatap Vira. "Pernikahan itu sekali seumur hidup, nona. Tidak ada percobaan."

Vira tertawa aneh, buru-buru ia menegak es tehnya yang baru datang dan meminta maaf pada si pemuda. Benar juga, pernikahan itu sekali seumur hidup. Tidak ada percobaan. "Maaf, bukankah ini terlalu mendadak. Aku belum mengenal keluarga mu, dan kau juga belum mengenal keluarga ku. Intinya kita belum mengenal keluarga masing-masing."

"Aku akan menemui orangtua mu hari ini, lusa aku akan datang lagi bersama orangtua ku."

"Hah?" Entah sudah yang keberapa kalinya dalam beberapa jam kapten muda itu mampu membuatnya terkejut hingga tanpa sadar, Ia berjalan cepat lalu duduk di samping si kapten pemuda. "Kau benar-benar serius?"

Menoleh dengan kepala sedikit menunduk agar dapat menatap si gadis, si kapten muda mengangguk mengiyakan. Sungguh, ekspresi terkejut si gadis saat ini, begitu lucu. Membuatnya diam-diam merasa gemas.

"Apa orangtua mu tidak sibuk?" Vira bertanya dengan nada was-was. Walau awalnya mereka hanya mengenal satu sama lain melalui situs web sejuta umat —facebook— sedikit banyak Vira dan Frand telah bertukar cerita mengenai keluarga mereka dan Vira tahu, ibu pemuda itu adalah seorang desainer yang memiliki jam terbang tinggi alias sibuk. Sedangkan ayah si pemuda adalah pengusaha dalam bidang properti —sama sibuknya dengan ibu pemuda itu. "Aku sungguh tidak enak hati jika menganggu jadwal orangtua mu."

"Tidak, kau tidak mengganggu jadwal mereka. Kebetulan, ayah dan ibu ku akan menghadiri acara pernikahan anak rekan mereka di Surabaya. Setelah acara itu mereka bisa datang kesini, melamar mu untuk ku."

Pipi Vira menghangat mendengar ucapan si kapten muda. Jika ia menyandingkan cara si kapten muda melamarnya menggunakan drama korea yang menjadi kiblatnya, lamaran si kapten muda sangat-sangat jauh dari kata romantis —mencapai target 1% romantis pun, rasanya tidak. Namun, entah mengapa dari sudut pandangnya yang berbeda, lamaran minim ala si kapten muda, tiba-tiba menjadi jauh lebih romantis dari pada lamaran ala oppa-oppa Korea favoritnya.

Ini bukan tentang romantis atau tidaknya sebuah lamaran, ini tentang sebuah komitmen. Pemuda itu telah dengan berani melamarnya, sekali lagi melamarnya, bukan mengajaknya berpacaran. Ini tentang bagaimana ia menghabiskan waktunya hingga akhir hayat dengan seseorang yang kelak berstatus sebagai imamnya —sebagai suaminya. Dan keputusan gila yang di ambil Vira adalah. "Baiklah, ayo kita temui orangtua ku."—yang artinya, gadis itu menerima lamaran sang kapten muda.

SEELENVERWANDTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang