"Mom, I'm getting married."
Frand menatap layar macbooknya yang sedang menyambungkan panggilan video pada ayah dan ibunya. Di seberang sana, ibunya sedang duduk menyeruput teh dengan anggun sedangkan ayahnya tampak melakukan hal yang sama. Akan tetapi, Belum lagi teh itu sampai ke tenggorokannya, si ibu cantik lebih dulu menyeburkannya hingga membasahi layar macbook milik si ibu. Nyonya August yang tampak cantik di usianya yang telah menginjak separuh abad rupanya terkejut mendengar ucapan putranya.
"What? Sweetheart, apa mami tidak salah dengar?"
Tuan August pun terkejut mendengar ucapan putranya. Tidak menyangka bahwa putranya yang betah melajang selama 24 tahun hidupnya kini secara gamblang mengutarakan keinginannya untuk menikah. "Bocah nakal, apa kau ingin mengerjai orang tua ini? Bicaralah menggunakan bahasa Indonesia. Ini Negara Indonesia. Dan yang terpenting, Kami sudah terlalu tua untuk menunggu mu menikah, sebaiknya ucapan mu itu serius, atau aku akan mengangkat sendal ku dan memukulkannya pada mu."
Si pemuda tertawa begitu manisnya di depan sang ayah dan ibu. Melupakan fakta bahwa umurnya sudah cukup tua untuk melakukan hal itu —namun ia tak peduli, baginya tidak ada batasan umur untuk menunjukan sisi kekanakannya pada kedua orang yang sangat ia sayangi dan hormati itu.
Frand hanya akan menunjukan ekpresi berbeda di depan orang-orang kesayangannya. Dan Hal itu amatlah langka.
"Aku serius, dad. Aku bahkan telah datang menemui orangtuanya."
Nyonya August menampakan binar kebahagiannya, wanita itu begitu terharu hingga meneteskan airmatanya. "Ya Tuhan, akhirnya putra ku menikah, aku bisa tenang saat berpulang nanti." Ucapnya penuh dengan rasa syukur dan sedikit bumbu kekanak-kanakan —agak lebay.
Si pemuda sangat hafal dengan tingkah kekanak-kanakan sang ibu. Namun ia tak suka dengan ucapan terakhir ibunya. "Mom, omong kosong apa itu? Mami dan daddy akan hidup seribu tahun bahkan bila perlu berpuluh ribu tahun. Menjadi nenek dan kakek dari anak-anak dan cucu-cucu serta cicit-cicit ku."
Tuan August diam-diam ikut terharu mendengar ucapan sederhana yang keluar dari mulut putra bungsunya. Pria paruh baya itu hendak menitikan airmatanya, tetapi ia terlalu menjunjung tinggi harga dirinya —tepatnya kegengsiannya. Ia tak ingin memperlihatkan sisi melankolisnya di hadapan sang putra. "Katakan pada kami, bocah nakal. Seperti apakah calon menantu kami? Kapan kau bertemu dengannya, kenapa kalian menikah sangat mendadak? Apa kau berbuat hal yang tidak pantas padanya? Kalau itu benar terjadi, aku akan menghukum mu sampai setengah mati!" Seru tuan August.
Frand tertawa aneh. Pemuda itu melepas kacamatanya, memijat pelan pangkal hidung bangirnya. "Dad, ini tidak seperti yang daddy pikirkan. Kami menikah cepat karena kami telah sepakat."
"Begitukah? Aku lega mendengarnya."
"Ceritakan seperti apa menantu kami?" Sela nyonya August tak sabaran.
"Menantu kalian sangat cantik, baik, tapi pendek dan pesek."
Nyonya August dan tuan August mendadak kaku mendengar penjelasan sang putra. Wajah mereka sepertinya membeku. Putra bungsu mereka selain tak peka memang tak pandai mendeskripsikan calon menantu mereka —sepertinya, tuan August perlu mengajari cara memperkenalkan wanita spesial pada putranya.
"Ku rasa daya tariknya ada pada tubuh pendeknya dan hidung peseknya."
"Cukup! Sweetheart, kau memang tak pandai mendeskripsikan calon menantu mami. Apa kau tahu? Wanita tidak suka di deskripsikan seperti itu."
Mengusap tengkuknya dengan wajah kelewat polos, pemuda itu merasa serba salah —nyatanya ia memang berkata jujur memuji kelebihan calon istrinya yang bagi sebagian orang malah terdengar seperti mengejek. "Maaf, mom."
Memangnya, apa yang di harapkan dari pemuda tak peka dan romantis itu? Sedari dulu hidupnya memang tak jauh dari dunia pekerjaan —membuatnya menjadi manusia batu.
"Jadi, apa ayah calon menantu ku merestui mu?" Kali ini, wajah tuan August mendominasi layar.
"Ya, dad." Jawabnya. "Ayahnya menunggu daddy dan mami untuk bertemu di rumah mereka, lusa."
"Eih! Mami tidak sabar bertemu mereka yang telah berbaik hati, menerima mu, nak." Nyonya August menarik paksa tubuh suaminya, nembiarkan wajahnya terlihat di depan layar. Pasangan suami istri itu seperti anak kecil yang tengah berebut mainan. "Kami akan datang besok, menemui calon istri mu. Bagaimanapun caranya, kau harus membawanya menemui kami lebih dahulu. Setelah itu lusa, kita akan menemui orangtuanya. Mami akan menyiapkan banyak hadiah untuk mereka."
Si pemuda terlihat sangsi begitu mendengar kalimat yang di lontarkan ibunya. "Mam, calon istri ku tidak menyukai barang-barang mewah, begitupun dengan keluarganya. Ku harap mami menyiapkan hadiah yang layak dan jauh dari kata mewah."
"Oh, bagaimana kau tahu mami ingin memberi jam untuk besan mami dan kalung untuk calon istri mu?"
—karena aku anak mu, mam. Batin Frand.
"Daddy akan menyiapkan makanan ringan khas kampung halaman kita. Sebagai hadiah untuk calon mertua mu. Bagaimana kalau sebagai tambahan memberi baju desain mami mu?"
"Tidak buruk, dad. Itu jauh lebih baik."
"Oke, kita telah sepakat. Jangan lupa mengirim foto calon istri mu dan besok ajak dia menemui kami. Kami tidak mau tahu!"
"Tapi—"
"Bye sweetheart."
"Bocah nakal, jangan membuat masalah untuk calon istri mu." —lalu panggilan video itu berakhir sepihak, ibu dan ayahnya yang lebih dahulu memutus sambungan video itu.
"Hah..." Si pemuda menyandarkan punggungnya pada sofa dengan helaan nafas yang cukup berat —jemarinya terangkat memijat keningnya yang terasa sedikit berdenyut.
Berbicara banyak sepertinya telah membuat tenaganya terkuras terlebih ketika menghadapi keantusiasan kedua orangtuanya. Namun, ia bersyukur orangtuanya menerima dengan baik niatnya untuk menikah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEELENVERWANDTE
Fiksi PenggemarDari orang asing, menjadi soulmate! Kedengarannya memang gila, namun nyatanya dua orang asing yang baru saling bertemu itu kini telah menikah. Story by. Momochan11 Art & cover design by. Nuralalolin