07. Tuan August

42 10 3
                                    

Waktu menunjukan pukul tiga sore, namun hari itu cukup terik. Sang mentari amat bersemangat menebar cahayanya yang berujung membuat Vira merasa dehidrasi. Terlebih, hari itu ia cukup sibuk menjalani pekerjaannya —merawat pasien satu dan pasien lainnya —cukup membuatnya kewalahan, senang, sekaligus merasa kelelahan.

Vira mendesah pelan, rasanya kedua tungkai kakinya tak sanggup berjalan bahkan untuk menggapai kantin rumah sakit yang telah berada di depan mata. Di sampingnya, Andrina sang ibu hamil masih berjalan dengan semangat sembari mengelus perutnya yang mulai terlihat sedikit menyembul. Wanita itu sudah tak sabar ingin memesan banyak makanan untuk memuaskan perutnya yang keroncongan.

"Ck, kau ini! Mengapa wajah mu terlihat lesu?" Tegur Andrina dengan sebelah lengan sengaja menyenggol Vira.

Tubuh Vira yang memang terasa lemas —nyaris limbung ke samping kalau saja ia tak dapat menjaga keseimbangan tubuhnya. "Aku sedang tidak ingin berdebat, Andrina. Tubuh ku kekurangan asupan makanan dan cairan." Jelasnya dengan nada suara lemah.

Andrina menyadari ada yang salah dengan kondisi sahabatnya dan ia segera mengerti mengapa sahabatnya terlihat lesu. Semalam Vira menelfonnya memberitahukan secara detail bagaimana prosesi lamaran mendadak ala calon iparnya. Akan tetapi, Andira tak pernah menyangka —dalam bayangannya sekalipun— kalau ayah sahabatnya yang biasanya sangat selektif menilai pemuda yang hendak melamar sahabat rasa saudaranya itu —berakhir menerima lamaran si pemuda bule yang notabenenya baru bertemu Vira kemarin. Andrina tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya karena sebulan lagi, Vira akan sah menyandang status sebagai istri dari tuan August. Dan, entah karena terkejut atau merasa senang —semalam, Vira melapor padanya bahwa gadis itu tidak dapat tidur nyenyak. Bagi gadis itu semua terasa bagaikan mimpi —yang berakhir membuatnya terlihat lesu dan lelah akibat kekurangan energi dari jadwal tidur abnormalnya.

"Karena itu, kita harus bergegas agar segera sampai di kantin. Kau duduk manis saja, aku yang akan memesan makanan untuk mu."

"Benarkah?" Mata bulat milik Vira mengerjap beberapa kali. Ada rasa bersalah dalam benaknya karena membiarkan sang ibu hamil repot-repot memesan makananan untuknya. Namun, raut wajahnya seakan tidak kontradiksi dengan benaknya. Binar ceria, malah terpancar dari wajahnya. "Terimakasih, kalau begitu akan menunggu mu di sana!"

"Huh, dasar." Andrina menggerutu begitu melihat langkah lebar dari sahabatnya. Sahabatnya telah lebih dulu memilih tempat duduk di tengah kantin. Tapi, gerutuan itu tak bertahan lama karena ia mengulas senyumnya. Merasa gemas dengan tingkah sang sahabat yang sedang meletakan kepala di atas meja beralaskan tas.

~00~

Mobilnya, ia parkirkan di tempat yang telah tersedia di rumah sakit itu. Kehadirannya ke tempat itu, bukanlah tanpa sebab. Kemarin ia bertanya pada calon istrinya, ingin tahu alamat di mana calon istrinya itu bekerja. Tanpa menaruh rasa curiga, calon istrinya memberikan alamat yang di mintanya dengan wajah polos.

Frand mengulas senyumnya ketika mengingat lagi betapa polosnya sang calon istri kemarin—ternyata, di balik kecerewetan sang calon istri, masih tersimpan sifat lain yang tak pernah di duganya. Frand berani bertaruh, Vira tidak tahu jika hari ini ia sengaja meluangkan waktu dari sela waktu istirahatnya untuk datang menjemput gadis itu —bersama dengan seseorang yang sejak dulu telah menjadi kesayangan gadis itu.

"Daddy, ini tempat mami bekerja?" Seorang bocah lelaki berusia 10 tahun —bertanya padanya begitu ia membukakan pintu mobil. Bocah lelaki tampan nan menggemaskan —yang menyerupai duplikat dirinya—  itu bernama Aldrich atau biasanya akrab di panggil Al di kalangan keluarganya. Bocah itu sebenarnya merupakan sepupunya, namun entah mengapa sejak bocah itu masih kecil, bocah itu lebih suka memanggilnya dengan panggilan daddy.

"Ya, ini tempat mami mu bekerja." Jawabnnya dan langsung menggendong tubuh bocah itu ketika bocah itu merentangkan tangan meminta untuk di gendong. Mereka berjalan memasuki rumah sakit.

"Apakah mami masih menyukai ku seperti tiga tahun yang lalu?" Al bertanya dengan wajah cemas yang begitu menggemaskan —membuat Frand tak kuasa mencium pipi gembil bocah manis itu.

"Tentu saja, semalam mami menanyakan mu."

Senyum ceria terpancar dari wajah si bocah manis. Ia mengeratkan pelukannya ke leher sang ayah dan membalas mencium pipi ayahnya —tanpa mempedulikan tatapan bocah lain yang seakan bertanya-tanya, mengapa bocah seusianya masih meminta di gendong oleh ayahnya?

Dan Al, tidak ambil pusing.

"Daddy, Ayo ajak mami makan es krim." Pintanya.

Frand lagi-lagi tersenyum, pria berwajah datar itu memang tampak lebih leluasa menunjukan sifat keayahannya pada Al. "Lain kali saja ya. Mami pasti lelah dan ayahnya mami tidak mengijinkan mami pulang lebih lebih dari jam lima sore."

"Seperti daddy tidak menginjinkan kakak-kakak, Bubba dan Al pulang lebih dari jam lima sore?"

Frand mengangguk mengiyakan dan semakin mempercepat langkahnya.

Al kecil baru saja mendarat di Makassar tadi pagi bersama kedua orangtuanya. Sejujurnya jadwal kedatangan orangtuanya untuk mengunjunginya adalah besok. Tetapi karena semalam ia menelpon mereka dan memberitahukan niatnya untuk melepas masa lajangnya, orangtuanya tampak antusias dan tak sabar ingin segera bertemu calon menantu mereka.

Gadis seperti apa yang mampu membuat anak mereka yang di kenal betah melajang memilih untuk menikah? Rasa penasaran itu mungkin akan segera berakhir jika Frand berhasil membawa calon istrinya menemui mereka hari ini. Namun, Frand tak yakin Vira akan setuju mengingat gadis itu masih tampak malu-malu —dan Frand memakluminya. Ia juga tak ingin memaksa gadis itu.

~00~

"Bukankah itu tuan August?" Tegur Andrina yang tengah membawa nampan berisi nasi, coto Makassar dan mie titi pesanan Vira. Wanita itu tampak terkejut melihat kehadiran Frand bersama seorang bocah yang ia yakini adalah Al —kesayangan Vira yang selama ini sering Vira cerita kan padanya —selalu menjadi bahan obrolan antara gadis itu dan juga Frand.

"Jangan bercanda, Andrina. Calon mertua ku baru akan datang besok ke rumah ku. Bukan datang ke tempat ku bekerja." Balas Vira sambil menikmati sajian di hadapannya. Sedikitpun tak ada niat menoleh ke objek yang di katakan Andrina sebagai tuan August. Sahabatnya itu pasti sedang mengerjainya.

"Ck, bukan Tuan August mertua mu. Tapi tuan August calon suami mu."

"Hah? Frand August?" Vira tersedak kuah coto-nya. Gadis itu segera mengambil es jeruk dan menegaknya. Ia menoleh ke arah depan pintu kantin. Dan benar, di depan sana ia menemukan sesosok pemuda familiar bersama seorang bocah kecil manis yang sangat mirip dengan pemuda itu.

"Hei, apa yang dia lakukan di sini bersama anak kalian? Apa dia datang menjemput mu?"

Ucapan Andrina benar-benar membuat wajahnya memerah seperti tomat. Anak kalian? Rasanya jantungnya ingin melompat keluar dari rongga dadanya akibat dari dua kata itu.

"Oh ya ampun!" Vira teringat akan kesalahan yang di buatnya. "Sepertinya dia menanyakan alamat tempat ku bekerja karena ini!" Pekiknya tertahan.

Andrina tertawa pelan dan berusaha menepuk lembut punggung Vira. "Kerja bagus, kawan. Sudah seharunya ada orang yang menjemput mu. Bukannya pulang dengan ku terus atau merengek meminta ayah mu menjemput mu."

Vira sudah tak peduli dengan kalimat Andrina. Yang menjadi fokus gadis itu ketika melihat Al kecil beringsut dari gendongan ayahnya dan berlari ke arahnya memanggilnya dengan suara cukup keras.

"Mami!"

SEELENVERWANDTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang