Kata orang, menikah lebih dari usia dua puluh satu tahun adalah hal yang tidak biasa di desa ini. Lebih tepatnya bagi seorang perempuan bisa di sebut sebagai perawan tua. Padahal zaman telah maju, zaman telah moderen tetapi tetap saja peraturan dan tata tertib yang berlaku di desa tempatnya tinggal sangatlah kuno. Masih menganut aturan-aturan zaman baheula.
Di lihat dari sisi positifnya, peraturan itu cukup baik. Bisa mengurangi wanita yang berpotensi memiliki pemikiran untuk menjadi seorang feminis. Mengurangi pemikiran secara berlebihan menyangkut emansipasi, kesetaraan dan keadilan hak dengan pria. Kalau berpikir masalah itu secara normal sih sah-sah saja, tapi kalau sampai menjurus ke tanpa lelaki aku bisa hidup, tanpa menikah aku bisa berbahagia —kan berbahaya.
Sisi negatifnya dan sisi yang paling tidak di sukainya adalah, ia menjadi bahan pergunjingan di kalangan tetangganya. Setiap pulang bekerja selalu saja ia di sapa dengan kata-kata pedas sebagian ibu-ibu di sana.
Mulut tetangga memang sekejam itu, sekejam ibu jari netizen.
Dan sebenarnya, ia tidak mempedulikan apa kata tetangga. Masa bodoh. My life is my own business. Begitulah prinsipnya.
Namun, siapa sih yang betah terus-terusan di bicarakan?
Ayolah, ia juga manusia biasa, bisa kesal dan marah. Saat ia hendak menyuarakan isi hatinya dalam bentuk protes, suara milik adiknya lebih dulu menggelegar.
"Tolong jangan sembarang membicarkan kakak ku, kakak ku sebentar lagi akan menikah dan calon suaminya adalah seorang pilot."
Ya Tuhan, Adibah! Mengapa kau berbicara seperti itu!
Pergunjingan itu lantas terhenti karena ucapan adik perempuannya, Adibah.
Meski seringkali mereka tampak tak akur dan sering adu mulut, hari ini Adibah bagai tokoh pahlawan Wonderwoman. Sebagian besar harga dirinya yang sempat terkoyak, telah di selamatkan. Akan tetapi— demi Tuhan, rasanya ia ingin menangis.
Pacar saja belum punya, bagaimana mau menikah?
"Ayo kak, kita pulang." Dengan langkah angkuh, Adibah menyeretnya melewati para kerumunan penggosip yang kini menatapnya dengan penuh damba.
"Calon suaminya pilot?! Kelak, kehidupannya pasti terjamin."
"Ya ampun, aku juga ingin memiliki menantu seorang pilot."
Sayup-sayup ia dapat mendengar ucapan ibu-ibu itu. Mereka benar-benar percaya apa yang di katakan oleh Adibah.
Tamatlah riwayat mu, Vira!
~00~
"—this is Frand August, your captain speaking. Welcome aboard. We are presently flying at thirty five thousand feet on your flight from London to Makassar. We are expecting a smooth flight and anticipate an on time arrival in Makassar at 02.45 p.m. We hope you enjoy your flight."
Brandon, co-pilot yang menempati tempat di sebelah sang kapten, tiba-tiba tersenyum gemas. Ia menepuk tanganya begitu riang karena suara husky indah nan manis itu lagi-lagi terdengar. Jarang-jarang di kesempatan biasa ia mendengar suara sang kapten.
Karena, yah— Kapten berusia 24 tahun itu sangat minim bersuara. Berbicara pun hanya seperlunya, tertawa pasti tanpa suara, bibirnya selalu tertutup rapat. Seperti orang yang tidak niat tertawa. Memang aneh sih, tapi kata kapten Rain —kakak kandung— kapten Frand, sifat itu sudah pembawaan dari sananya. Bayangkan, katanya sejak bayi! Lahir pun pemuda itu tidak menangis. Ia sempat penasaran dan tak percaya akan perkataan kapten Rain.
Masa iya sih lahir tidak menangis?
Berbekalkan rasa penasaran yang di ladeninya, di suatu kesempatan, ia bertanya kepada nyonya Vivian —ibu sang kapten. Lalu, jawaban yang ia dapatkan, sama percis seperti perkataan kapten Rain —sahabatnya.
Luar biasa. Tapi sayang sekali, sikapnya yang terkesan dingin, wajah datar seperti jalan tol dan kecuekannya, membuat sang kapten masih menjomblo sampai sekarang. Tepatnya, belum pernah merasakan yang namanya berpacaran.
Padahal dengan tinggi 193 cm dan wajah khas bule yang sangat tampan, pemuda itu pasti laku keras di pasaran —eh, maksudnya mampu menarik perhatian para gadis dan para wanita.
"Apa ada sesuatu yang lucu?"
Dengan mata membulat kaget, Brandon menoleh menatap kapten Frand. Pemuda berusia 26 tahun itu mendadak merasa kikuk, seperti kucing tersiram air.
Astaga, bertanya pun dengan wajah datar. Terbuat dari apakah manusia ini?
"Tidak, tidak ada yang lucu, kap. Aku hanya senang bisa mendengar suara mu." Setelah mengucapkan kata-kata itu, pemuda di sampingnya hanya terdiam, kembali melakukan pekerjaan, tanpa menanggapi ucapannya.
"Kap, bisakah anda mempertimbangkan permintaan ku —lagi?" Takut-takut, Brandon kembali bersuara.
Jujur, berbicara dengan Frand sama seperti akan menghadapi tes wawancara pekerjaan. Kala itu Brandon takut, ia di nyatakan tidak lulus, dan menunggu jawaban Frand menimbulkan perasaan yang sama seperti mendengar hasil tesnya.
"Aku tidak punya waktu untuk ikut dalam acara anak muda seperti itu."
Astaga, memangnya kau sudah tua?
Brandon terheran mendengar jawaban Frand. Pemuda itu berbicara seolah-olah ia adalah pria berumur lima puluh tahunan. "Tapi kap, aku sudah berjanji akan mengenalkan mu pada seseorang. Aku mohon, sekali ini saja tolong aku. Acara yang kami adakan tidak seperti yang anda bayangkan. Kami hanya makan-makan dan mengobrol seputar bisnis."
Samar-samar, Brandon mendengar Frand menghela nafasnya. Masih dengan pandangan penuh tertuju ke depan, Frand akhirnya menyetujui permintaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEELENVERWANDTE
FanficDari orang asing, menjadi soulmate! Kedengarannya memang gila, namun nyatanya dua orang asing yang baru saling bertemu itu kini telah menikah. Story by. Momochan11 Art & cover design by. Nuralalolin