03. Mari Menikah

90 16 19
                                    

Kata Andrina, pertemuannya dengan Frand bukanlah suatu kebetulan —seperti apa yang ada di pikirkannya. Andrina menegaskan bahwa, di dunia ini, tidak ada yang namanya kebetulan! Pertemuan mereka, semuanya telah di atur di dalam alur kehidupan yang biasa kebanyakan orang awam sebut dengan takdir.

Lantas, benarkah demikian?

Sejak tadi pertanyaan itu terus melintas di dalam benak Vira dan sejak tadi pula gadis itu sudah duduk saling berhadapan dengan Frand. Gadis itu tidak tahu kapan pastinya mereka telah berada dalam posisi seperti itu —duduk dalam keadaan canggung di temani dua gelas es teh. Yang gadis itu ketahui adalah, beberapa puluh menit yang lalu ia masih duduk bersama dengan Andriana. Berkeluh kesah mengenai calon suami hingga entah mendapat keberuntungan dari mana, sahabatnya itu berhasil mempertemukannya dengan sang pemuda —yang sahabatnya itu yakini sebagai penyelamat harkat dan martabatnya, kelak. Walau nyatanya, mereka belum saling mengenal begitu dekat satu sama lain sihhanya sekedar tahu nama, profesi, dan wajah dari foto profil.

"Are you ready to order, sir?"

Vira berjengit kaget ketika salah satu waiter datang membawa bolpoint dan note kecil di tangan. Ngomong-ngomong, ia dan Frand telah berpindah ke restaurant daging yang berada tak jauh dari tempat mereka bertemu sebelumnya.

"Yes, I'll have the.." pemuda itu menghentikan ucapannya lalu melirik si gadis yang duduk manis di hadapannya.

Sadar akan arti lirikan itu, si gadis segera tersenyum kikuk dan menyebutkan apa yang ingin ia makan. "Sirloin steak."

Waiter itu tersenyum kemudian mencatat pesanan Vira. "How would you like that cooked?"

Kali ini, si gadis berbalik menatap pemuda itu, seakan meminta ide pada si pemuda.

"Medium rare, please." Frand menjawab.

"You have a choice of potatoes. French fried, mashed, or baked?"

"I'll have the mashed potato and french fried for her."

Percakapan antara waiter dan Frand masih terus berlanjut. Diam-diam Vira tampak menikmatinya —menikmati aksen milik Frand yang lebih terdengar seperti British ketimbang American, padahal pemuda itu telah lama tinggal di Amerika.

Vira tersenyum kecil melihat Frand yang ia kenal irit bicara, kini harus rela mengeluarkan sedikit tenaganya untuk meladeni waiter itu. Asyik memperhatikan mereka, ia baru sadar, bukankah Frand mengerti bahasa Indonesia, mengapa mereka bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris?

Ah, mungkin karena wajahnya yang terlihat seperti orang luar.

Lagi pula, waiter itu juga yang lebih dulu mengajak Frand bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris. Vira mengangkat telapak kanannya, menutup mulutnya yang nyaris mengeluarkan tawa. Lucu sekali.

"And what would you like for dessert?"  Hening tidak ada jawaban dari yang di tanya.

"What would you like for dessert, mam?"  Barulah yang di tanya tersadar dari lamunannya begitu Frand mengulangi ucapan si waiter dan menanyakan lagi padanya.

"Ah, sorry!" Vira menundukan kepalanya dan lagi-lagi tersenyum kikuk. Ia memandangi Frand dengan tatapan puppy, memberi sinyal agar pemuda itu mau menolongnya. Vira kurang percaya diri menunjukan skill berbahasa Inggrisnya. Sekilas info.

"What do you have?"

"We have durian ice cream, strawberry, mocca, chocolate and vanilla cake, and rum raisin, sir."

SEELENVERWANDTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang