[4]

511 109 18
                                    

"KAK MARK!"

Mark menolehkan kepala saat mendengar namanya disebut begitu nyaring, seorang pemuda dengan senyum lebar yang tampak konyol berlari menghampiri, kaosnya sudah basah oleh titik keringat yang muncl.

Pagi ini, ia terbangun lebih cepat dari seharusnya di hari libur, membuat sang ibu menyeretnya untuk menemani lari pagi yang ditanggapi ogah-ogahan oleh pemuda berusia tujuh belas tahun itu.

"Rumahmu di dekat sini, Kak?" tanya Haechan saat mereka sudah duduk di tepi trotoar, tangannya mengelus lembut anjing kecil yang duduk diam di antara mereka.

Itu anjing yang Haechan temukan ngomong-ngomong.

"Aku hanya menemani mama. Kau?"

"Ah begitu," kepalanya terangguk paham, "Rumahku hanya dua blok dari sini, tadi pagi Jaemin meminta untuk ditemani tapi ujung-ujungnya dia meninggalkanku saat kekasih sialannya itu datang." Bibirnya tercibir penuh dendam pada dua orang yang sedang memakan es krim di bangku beton.

Mark mengikuti arah pandangnya dan mengangguk maklum.

"Jadi kau sendirian?"

"Hmm."

"Mau berlari bersama?"

Bibirnya nyengir, menampilkan gigi kecil yang berderet rapi. "Aku sudah lelah, by the way."

Jawaban itu membuat bola mata Mark berotasi.

"Bagaimana kalau kita membawa anjing kecil ini ke pet shop? Aku punya kenalan yang mungkin bisa membantu kita."

Mark mengangguk kecil, benaknya kemudian memutar kejadian tempo hari di mana mereka kali kedua bertemu, saat itu sikapnya sangat menyebalkan. Agak heran melihat Haechan menyapanya seolah ia tidak memiliki kesalahan.

"Maaf."

"Eh?" kepalanya miring, menatap Mark dengan bola matanya yang menawan, "Kenapa?"

"Tentang sikapku beberapa hari lalu. Maaf, aku baru sadar itu menyebalkan."

Haechan terkekeh, "Kukira apa! Bagaimana dengan seporsi nasi kare untuk menebus rasa bersalahmu?"

Bagaimana bisa Mark menolak tatapan berbinar penuh harap dari lelaki di depannya.

***

"Aku tidak tahu kalau kau makan begitu lahap. Mangkukku bahkan baru setengah dan kau sudah memesan porsi kedua."

Haechan merengut, "Itu cara halus untuk mengatakan kalau aku rakus."

Mark tertawa, "Aku suka. Itu berarti kau sehat. Makanlah selagi bisa, kalau kau sakit, seenak apapun makanannya pasti terasa pahit."

Ucapan itu diangguki persetujuan oleh pemuda berambut cokelat, tubuhnya dimajukan, memandang manik mata milik Mark yang mengangkat alis.

"Jadi, aku bisa memesan keik lagi kan, Kak?"

Tawanya menggema, Haechan merasa bahagia mendengar itu mesti sekelebat rasa pahit ada di sana. Tawa Mark memang indah namun yang barusan tercampur dengan sakit yang tertahan.

***

Malam semakin larut. Keduanya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sungai Han yang pastinya sudah dipenuhi manusia. Tangan Haechan tersembunyi di dalam saku guna melindungi dari angin malam yang menusuk kulit. Diam-diam melirik ke sisi kanannya di mana Mark sedang menatap entah apa itu di ponselnya.

Di hari biasa, pemuda itu tak segan untuk menggamit lengannya, atau menyatukan jemarinya di sela jari-jari Haechan. Dan Haechan dengan senang hati bersandar pada lengan kokoh itu, atau bahunya yang tampak begitu nyaman.

Tapi sekali lagi. Hari ini berbeda. Ia menatap figur pemuda yang masih berstatus kekasihnya itu dari samping, merekam baik-baik bentuk wajah Mark yang tegas dengan rahang tajam. Matanya bulat—tidak seperti ras Asia Timur pada umumnya—hal itu diwariskan oleh sang ibu yang berdarah Kaukasian. Mark Lee dan segala yang ada pada dirinya selalu bisa menghipnotis Haechan. Namun sayang sekali, malam ini, Mark Lee bukan lagi milik Lee Haechan.

***

Let's  RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang