[6]

469 95 14
                                    

Haechan nyaris mengumpat saat bis terakhir menuju rumah berlalu, meninggalkan kepulan asap yang seolah mengejeknya. Tarikan napas masih tersengal, disusul butiran keringat yang membasahi keningnya.

"Haechan!"

Teriakan itu berasal dari Jaemin, pemuda manis yang berstatus sebagai kekasih saudara tirinya. "Ayo pulang bersama."

Dengan senyum mengembang, lelaki itu mengapit lengannya, membuat Haechan menggulirkan bola mata malas. "Tidak mauu. Jeno pasti akan mencincangku sesampai di rumah."

Bibir Jaemin tercebik kesal. "Nanti biar aku marahi."

"Tidak tidak!" serunya, berusaha melepas genggaman tangan Jaemin. "Aku masih sayang nyawaku."

Pemuda bermarga Na mendengkus malas. "Lalu kau mau kemana setelah ini?"

Mata Haechan teredar, menatap pedestrian yang sudah ramai pejalan kaki, baik itu pekerja yang tengah berpacu dengan waktu maupun siswa sepertinya yang baru saja pulang sekolah.

"Aku menunggu di sini." Putusnya, seraya melabuhkan bokong dibangku panjang.

Jaemin ikut duduk di sana, menatap lalu lalang kendaraan yang memenuhi jalanan kota. "Bagaimana hubunganmu dengan anak sekolah sebelah?"

Alis Haechan sontak terangkat. "Kak Mark?"

"Entahlah, kau tidak pernah memperkenalkannya padaku."

Tawa renyah keluar dari bibir Haechan, tatapannya menerawang ke depan, mengingat kembali potongan kenangan yang telah ia buat bersama Mark juga kucing putih bernama Blanc yang menyatukan mereka.

"Kami sudah berpacaran."

Kalau saja Jaemin sedang meminum sesuatu, ia pasti akan tersedak sekarang. Mata bulatnya membelalak kaget ke arah Haechan yang tersenyum simpul. "YAK LEE DONGHYUCK!"

"Kau tidak pernah bertanya, Jaemin sayang!" kilahnya saat Jaemin berusaha memukul lengannya.

"Meh, kau yang terlalu menutupi hubunganmu."

"Aku tidak ya. Kau saja yang setiap datang ke rumah selalu sibuk dengan Jeno-mu."

"Oh tentu saja," Jaemin mengangguk keras, "Memang kau siapa?"

"Nah itu tau."

Mendengar jawaban Haechan, Jaemin menghentikan aksi pukul memukulnya, badannya kembali tegak, menatap intens mata sang sahabat. "Kau mencintainya?"

"Tau apa sih kita tentang cinta? Satu yang pasti, aku begitu nyaman berada di sisinya. Mungkin kehadiran Kak Mark sama seperti kau di sisi Jeno."

Jaemin menarik napas panjang, jemarinya merangkul tangan Haechan lembut. "Katakan padaku dan Jeno jika dia menyakitimu."

"Memang apa yang akan kalian lakukan?"

Decakan terdengar sebelum kalimat Jaemin menggema. "Tentu saja memukulnya, Jeno itu menyayangimu tau!"

***

Potongan percakapan di halte bus bersama Jaemin mengalir begitu saja dalam benak, membuat senyum patah terbit di bibirnya. Haechan mendesah, Mark tidak pernah sekalipun menyakitinya. Hubungan yang mereka jalani selama ini benar-benar membuatnya bahagia.

Tidak pernah sehari pun Haechan berpikir bahwa hari seperti ini akan tiba. Saat di mana ia harus melepas cinta yang telah ia jaga bertahun-tahun. Lagi-lagi bibirnya digigit keras, mengalihkan rasa sakit yang bersemayam dalam dada.

Perih. Sangat perih. Namun, ia tak punya kuasa.

"Kuantar pulang."

Suara Mark terdengar begitu dekat, kepalanya menoleh dan menemukan tangan pria itu terulur ke arahnya.

"Jangan begini, Kak," keluhnya lemah. Bagaimana hatinya bisa beranjak sedangkan Mark sendiri menahannya seperti ini?

"Untuk kali terakhir, Hyuck. Kau sendiri yang bilang begitu."

Ada sakit dalam lirihnya kalimat Mark, Haechan bisa merasakannya. Maka dari itu, ia menyambut tangan besar yang langsung menyelubunginya begitu hangat.

Keduanya berjalan menyusuri jalanan beton, malam semakin tua, bintang di atas bentangan tirai hitam berkedip sedih melihat sepasang sejoli yang tengah berusaha melepas cinta mereka.

"Jaga dirimu. Tetap sehat, tetap ceria, jangan biarkan sedih merenggut cahayamu. Kau adalah matahari, Haechan, kau akan tetap bersinar sekalipun malam terbit dan menutupimu dengan rembulan," ujarnya saat gerbang rumah Haechan sudah terlihat.

Tawa kering mengalun dari bibir Haechan. "Apa aku harus mengatakan hal serupa?"

Mark menggeleng. "Tidak perlu."

"Ya, karena tanpa kukatakan pun kau akan tetap bahagia bersama istrimu nanti."

"Haechan." Mark memegang kedua bahunya, menatap tajam ke bola mata hangat yang kini berselaput bening, "Kau segalanya."

"Berhenti mengatakan hal itu saat kau akan menikah tiga hari lagi." Ia berusaha menepis lengan Mark. Namun cengkeraman lelaki itu teramat kuat.

"Kalau saja aku bisa melawan orang tuaku."

"Iya, Kak. Dunia juga tahu seberapa sayang kau pada orang tuamu." Haechan tersenyum lemah. "Pulanglah. Mari untuk tidak bertemu lagi."

Ia berbalik, berusaha membuka pintu gerbang dengan air mata tertahan. Mark menatapnya sendu, punggung sempit yang selalu jadi sandarannya kala rapuh kini terasa begitu jauh. Tangannya terulur, meraih bahu Haechan dan mendekapnya hangat dalam lengan.

"Aku mencintaimu, Lee Donghyuck. Sangat mencintaimu."

"Jangan begini Kak. Kasihan calon istrimu."

Haechan memutus pelukan di antara mereka tepat saat pintu terbuka dari dalam, menampilkan Jeno dengan kening berkerut bingung.

"Pulanglah. Semoga pernikahan kalian selalu dalam kebahagiaan."

Lelaki yang lebih muda menerobos masuk, membuat Jeno bingung setengah mati. Ia meneliti penampilan Mark dari ujung kaki hingga ujung rambut, sama berantakannya dengan Haechan.

"Kau dengar kata adikku, kan? Pulang sana. Terima kasih sudah menyakiti Haechan, dia pasti akan mendapat yang jauh lebih baik darimu."

Gerbang ditutup keras, membuat Mark mundur selangkah, suara gembok terdengar diiringi langkah Jeno menuju ke dalam. ia menarik napas panjang, menatap ke arah kamar Haechan yang masih gelap.

Seperti hatinya yang sudah mati malam ini.

***

makasih yang uda komen yaaa :(

luv;

hzl aka echan eomma.

Let's  RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang