[7]

452 88 10
                                    

Jeno menatap perih pintu jati yang baru saja menelan sosok ringkih adik tirinya, dengan gontai ia menuruni tangga, mengambil sebotol air dingin dalam kulkas lalu menegaknya rakus. Matanya terpaku pada sebatang cokelat yang mungkin milik sang kekasih, ia meraih cokelat tersebut lalu kembali ke atas, meneguhkan diri untuk mengetuk kamar Haechan yang tampak sepi.

"Chan?"

Tidak ada jawaban, Jeno menghela napas panjang.

"Aku tahu kau mendengarku, buka atau kudobrak paksa pintunya." Mungkin dengan sedikit ancaman, Haechan akan luluh. Namun, beberapa menit Jeno menunggu, pintunya tak kunjung terbuka.

"Aku dobrak ya?"

Jeno mengambil ancang-ancang, siap mendobrak pintu kamar Haechan sebelum akhirnya lelaki itu membuka pintu dalam kondisi ... kacau?

Jeno terpaku sesaat menatapnya. Sedikit tak percaya bahwa adiknya yang tengil bisa bersimbah air mata seperti sekarang.

"Kau benar-benar patah hati ternyata."

Kalimat itu tak digubris Haechan. Ia malah berbalik, kembali bersembunyi di bawah gulungan selimut tebal.

"Bangun!"

"Tidak mau!" seruan itu bernada sengau, membuat Jeno luluh dan duduk di tepi ranjang sang adik.

"Dunia belum kiamat Haechan. Bangkitlah dan tunjukan pada si bangsat itu bahwa kau bahagia tanpanya."

"Kak Mark bukan bangsat."

Jeno berdecih. "Lalu apa? Bajingan?" bola matanya berotasi malas, "Hanya lelaki bajingan dan berengsek yang bersikap pengecut sepertinya."

Isak tangis Haechan masih terdengar pedih di bawah sana, Jeno memijit pelipis pelan. Tentu saja ia merasa ikut sedih, tujuh tahun hidup bersama Haechan membuatnya perlahan mulai menyayangi pemuda itu. Melihat sosok yang biasanya terang seperti matahari, kini redup, membuat hatinya ikut tercubit.

"Haechan, mau kupanggilkan Jaemin?" bujuknya lembut, mengelus rambut kelabu Haechan yang menyembul dari balik selimut.

"Tidak."

"Lalu?"

Mata bulat itu mengintip sekilas, membuat Jeno meringis. Sembab, bengkak dan air yang masih setia mengalir.

"Hahaha, kau jelek sekali."

"YAK!" tangannya terulur, memukul lengan Jeno. "Aku ingat, kata Jaemin kau akan memukul Kak Mark kalau dia menyakitiku, kan?" tanyanya setelah puas mencubit Jeno.

Lelaki yang berstatus sebagai kakak tirinya itu mendesah. "Hm. Kau mau aku memukulnya?"

"Kau berani?"

"Tentu saja. Mark bukan apa-apa."

Tubuh Haechan kini sepenuhnya bangkit, bersandar pada kepala ranjang sembari menarik bantal guling untuk dipeluk. "Benar?"

"IYAAA!"

Simpul senyum tertarik, membuat pipi bulatnya semakin terlihat berisi. "Pukul dia untukku."

Kepala Jeno menoleh dengan alis terangkat. "Yakin?"

Pertanyaannya justru dijawab cebikan bibir. Haechan merengut, tertunduk lesu di tengah kasur. "Jangan, bagaimana jika ia tidak tampan lagi di altar?"

"Biar saja. Toh dia tidak bersanding bersamamu."

Mendengar itu, Haechan kembali menggigit bibir. Hatinya bagai dicabik kukur tajam, kemudian ditusuk sembilu lalu disiram air garam. Perih, pedih dan hancur. Bagaimana bisa jalinan kasih yang mereka rajut sejak masa sekolah menengah kini pupus begitu saja.

"Tuan Lee itu kolot sekali ya? Memang ini jaman baheula, Mark bisa memilih pendampingnya sendiri, dia sudah dewasa bisa tahu mana baik mana buruk."

"Kau mengatakan bahwa calonnya buruk?"

"Tidak, aku hanya tidak habis pikir. Mau sampai kapan orang tua terus mendikte keinginannya terhadap anak? Mark, aku, kau, kita semua punya jalan sendiri. Orang tua mana tahu yang terbaik, toh yang menjalani kita, kan."

"Sayangnya, mereka tidak berpikir seperti itu, Jeno."

"Ya ya ya aku tahu." Kepalanya menoleh, menatap lembut Haechan yang menekuri ujung kuku. "Kau itu baik, pintar, ceria, banyak orang yang jauh lebih baik dari Mark yang beruntung mendapatkanmu. Jadi, jangan bersedih. Matahari yang redup tidak baik untuk proses fotosintesis."

"Garing."

Jeno beringsut, mendekati si adik tiri kemudian menarik kepalanya ke dada. "Menangis saja, cukup malam ini, besok-besok aku tidak mau melihatmu bersedih lagi. Memang Mark pikir dia siapa, bisa-bisanya membuat adikku seperti ini."

Kepalan tangan Haechan menyentuh dadanya. "Kalau besok aku menangis, benar pukul Mark untukku, ya?"

"Hmm," Jeno bergumam malas, "Tidurlah. Nanti ku telepon Jaemin untuk ke sini menemanimu."

"Kau saja."

"Huh?"

Haechan mengeratkan peluk di pinggang Jeno. "Aku ingin bersama kakakku."

"Baiklah baiklah. Tapi tidak ada air mata, ya? Bajuku basah dan kotor tau!"

***

Rumah minimalis berlantai dua di pusat kota masih terlihat lengang saat Jaemin masuk dengan memakai kunci cadangan yang diberikan Jeno. Semalam, kekasihnya itu mengirimkan pesan yang mengatakan bahwa si adik tiri yang juga berstatus sahabat Jaemin tengah dilanda patah hati hebat.

Sejujurnya, ia ingin tertawa. Tapi setelah mengingat kembali kisah perih Haechan dan Mark, tawa itu urung terlontar.

Dengan berjingkat pelan-enggan membangunkan seisi rumah, Jaemin menuju ke dapur. Membuka kulkas besar yang bersandar di dinding putih dan mengeluarkan bahan memasak dari sana.

Sembari mengaduk potongan ayam dan wortel di atas panci, pikirannya mengembara pada Haechan. Sang sahabat yang semoga saja bisa jadi adik iparnya.

Haechan di mata Jaemin terlihat begitu memukau. Lelaki itu jarang bersedih. Air mata terakhir yang Jaemin lihat adalah saat ibunya menikah dengan ayah Jeno. Lalu setelahnya tidak ada. Haechan itu bagai karang, tegar meski diempas ombak berkali-kali.

Membaca pesan Jeno semalam, membuatnya sedikit khawatir. Patah hati separah apa yang diberikan Mark pada sahabatnya itu.

"Sayang?"

"Oh, hai. Baru bangun? Dimana Haechan?"

Sosok Jeno yang muncul dengan wajah dan rambut kusut membuatnya menyunggingkan senyum.

"Uhm, di atas, dia agak demam sepertinya. Kau memasak apa?"

"Sup. Sana mandi dulu."

Jeno tersenyum, mengecup pipi kekasihnya lembut. "Terima kasih. Nanti aku harus pergi. Titip Haechan sebentar, bisa?"

"Tentu."

"Kau yang terbaik, Nana."

Punggung Jeno menghilang ditelan pintu, membuat atensi Jaemin kembali pada masakannya. Ia tidak tahu Jeno akan kemana, meski hatinya sudah bisa menebak itu.

Oh, tentu saja, Jeno menyayangi Haechan. Jaemin sudah pernah mengatakan itu, kan?

***

ini sudah agak panjang, kah? sorry for late update^^

hanya tersisa 4 chapter lagi. terima kasih sudah sudi membaca dan meninggalkan jejak ya!

Kayaknya aku butuh aqua😢😢😢

Let's  RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang