[8]

395 75 1
                                    

"Apa hal yang paling kau takutkan, Haechanie?"

Haechan yang sedang menyesap boba menoleh pada Mark, bibir bawahnya maju sesenti memikirkan jawaban tepat untuk menjawab pertanyaan yang diajukan sang kekasih.

"Hmm, kesendirian?"

"Apa yang menakutkan dari kesendirian?"

Helaan napas terdengar keras dari sisi kanan, gelas boba sudah tergeletak di kaki kursi taman tempat mereka duduk, menyaksikan atraksi bola panas yang akan kembali ke peraduan.

"Banyak. Segala sesuatunya kulakukan sendiri, tidak ada teman, hanya ada sepi dan sunyi yang membuatku berpikir apa aku sesial itu sampai tidak ada yang ingin menemani kesendirianku."

"Kau pernah merasakannya?"

Tanpa ragu, Haechan mengangguk. "Saat ibuku meninggal. Dunia terasa runtuh, semua hal bergerak lambat dan menyiksa kepalaku dengan kenangan-kenangan kecil yang tersebar di sudut rumah. Ayah sibuk mengobati lukanya, melupakan aku yang juga luka."

Satu tangan Mark melingkari hangat bahu Haechan, menepuk pelan di sana, membiarkan kepala kekasihnya bersandar di dada.

"Kepergian ibuku hanya sebagian kecil dari kesendirian. Saat ayah menikah, kami mendapatkan dua anggota keluarga baru. Bukan hal yang mudah bagiku yang sudah terbiasa disambut sunyi."

"Tapi Jeno dan ibunya membuat kalian merasa lebih hidup lagi, kan?"

Tanpa ragu, Haechan mengangguk. "Meski butuh waktu lama tapi suka atau tidak harus kuakui bahwa Jeno membawaku keluar dari gelapnya sendiri yang tak berujung."

"Dengar Haechan," tubuhnya dibalik, berhadapan langsung dengan mata hangat Mark yang berpendar di bawah lembayung senja. "Aku di sini dan akan selalu di sini. Aku tidak akan membiarkanmu kembali jatuh ke jurang itu."

"Thats those kind of bullshit peoples always said, Kak."

Namun Mark menggeleng kecil, jemarinya menyusuri kulit Haechan yang berkilau diterpa mentari. "Kau boleh mempercayaiku, Chan."

Mata bulat Haechan menelisik dalam, menyelami janji yang terucap dari bibir Mark, berusaha percaya bahwa lelaki ini tak sama dengan lelaki di luar sana.

"Aku mencintaimu, Haechanie."

Lalu setelahnya, yang Haechan rasa hanya manis saat bibir Mark mengecup permukaan bibirnya begitu lembut. Mengalirkan hangat ke sekujur tubuh, memberi sensasi memabukkan dan menghancurkan kewarasannya.

Hari itu, berlatar malam bertabur gemintang. Haechan akhirnya memberikan hati pada Mark berkat sebuah janji.

Janji teguh yang akhirnya hancur.

***


Let's  RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang