Chapter 2

14.5K 1.6K 154
                                    

Seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya, tentang kaki yang tak sempurna milik seorang Lee Jeno.

Pagi ini, kaki itu dibawa berjalan mengelilinggi komplek. Matahari bahkan belum terlihat, langit pun masih sedikit gelap. Udara musim gugur juga cukup membuat tubuh kurus itu menggigil. Dengan hanya berbalutkan mantel tebal dengan kualitas murahan, remaja itu mengayuh sepedanya pelan. Senyum secerah mentari sesekali terukir di bibir, membuat matanya melengkung lucu bak bulan sabit. Sesekali remaja itu bersiul hingga menyayikan beberapa bait lagu.

Satu-persatu rumah ia hampiri. Turun dari sepeda, berjalan dengan pincang untuk meletakkan semangkuk atau mungkin beberapa mangkuk bubur labu sesuai pesanan yang ia terima di dekat pagar atau di dalam kotak surat sang tuan rumah. Tak lupa membungkukkan badan dan berucap terimakasih entah pada siapa.

Hari ini pesanan lumayan banyak, tentu juga cukup melelahkan bagi tubuh ringkihnya. Tapi setidaknya lebih baik daripada pesanan yang sedikit dan membuat nenek pemilik kedai mengeluh dan bersedih.

Ketika tugasnya telah usai, ia kembali ke rumah. Memarkirkan sepeda bututnya di samping rumah dan berjalan menuju pintu. Mendorong pintu itu pelan lalu masuk.

Ruang keluarga masih sepi, namun harum masakan sudah tercium di dapur. Membuat senyum manis itu kembali merekah, lalu mulai melangkahkan kaki ke dapur. Dimana ada sang ibu yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.

"Uwaaah~ ibu, harum masakanmu tercium hingga pintu depan"

Hening.

Hanya suara percikan udang yang sedang digoreng serta benturan antara benda yang terbuat dari aluminium.

Remaja itu tersenyum.

"Aku akan mandi dan bersiap, lalu membantu ibu. Tunggu ya, bu"

Kali ini sang ibu menoleh, setelah sebelumnya mengabaikan kehadiran sang putra.

"Membantuku?"

Remaja itu, Lee Jeno, mengangguk mengiyakan.

"Dengan tangan menjijikkanmu itu? Tidak perlu. Segera ke kamarmu dan jangan menggangguku"

Kalimat menusuk dengan nada datar dan tatapan sedingin es itu membuat Jeno menciut. Namun tetap membuatnya tersenyum.

"A-ah, baiklah. Aku akan bersiap saja kalau begitu lalu berangakat"

Tidak ada jawaban.

Lagi-lagi remaja itu tersenyum.

Paginya selalu sama.

Setiap hari, tak ada yang berbeda.

.

.

.

TBC~

Maaf ya kalau pendek-pendek..hehe

Nanti kalau kepanjangan kalian malah bosen :v

Jangan lupa vomentnya yaaaaa~~ biar aku makin semangaaat >_<

Thankyou~

Take Me Home [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang